Langsung ke konten utama

Jelajah Pantai Gunung Kidul



Tanpa rencana sama sekali kami pergi ke pantai Gunung Kidul. Mulanya hanya ingin mengunjungi dokter di Gedong Kuning. Begitu sampai di sana, rumah megah di pinggir jalan tampak sepi. Tak ada tanda-tanda buka praktik. Halaman rumah kurang terurus. Rumput ilalang nampak meninggi.

Kami memilih meninggalkan tempat ini. Sepeda motor melaju tanpa tujuan. Hanya mengarah ke Pantai Parangtritis, Bantul. Sembari mengingat-ingat nostalgia zaman dulu pernah ke sini. Begitu sampai pertigaan mendekati jembatan tiba-tiba kok bingung antara jalan lurus atau belok kanan. Entah dapat bisikan apa, kami memilih ke kanan.

Kendaraan terus melaju cukup jauh. Melewati persawahan, memasuki bukit naik turun berkelok-kelok. Anehnya kok enggak sampai-sampai ke pantai. Padahal seingatku tinggal sebentar sudah sampai pantai.

Malah kami tiba di samping bukit. Di sisi kiri ada petunjuk plang nama sebuah gua. Jalannya naik tajam. Aku pengen masuk. Tapi, pak suami tidak setuju. Kalau enggak sama rombongan, masuk ke gua bikin merinding. Suasana gelap dan sepi. Bener juga sih, bulu kudukku saja sudah berdiri membayangkan gimana jika sudah sampai sana.

Akhirnya kami balik lagi menuju pertigaan tadi. Setelah ngecek google map ternyata memang salah jalan. Harusnya lurus, tapi malah memilih ke kanan.


Pantainya bening dan jernih sehingga biota laut tampak dari atas


Tibalah di pintu masuk pantai Parangtritis. Kami melaju tanpa berhenti membayar retribusi. Kebetulan sepeda motorku memang plat AB. Katanya sih jika plat AB dan tidak membawa tas ransel besar, dimungkinkan penghuni situ. Kami emang enggak bawa tas besar. Kan tas besarnya ada di rumah orangtua, hahaha. Dulu beberapa kali ke sini naik sepeda motor juga enggak pernah dihentikan petugas untuk bayar. Sepertinya yang wajib bayar itu rombongan bus. 

Tibalah di sekitar pantai Parangtritis. Tapi kami tidak berhenti karena memang ingin jalan-jalan. Lebih tertarik ke pantai Gunungkidul karena pasir putih dan airnya jernih.

Mencoba rute baru. Sebuah jalan dari Parangtritis kami susuri terus. Jalannya semakin mengecil dan menanjak. Katanya tembus ke Gunungkidul. Sempat ragu-ragu, masak jalannya semakin kecil. Berhenti sejenak. Melihat kami sepasang sejoli berhenti di pinggir jalan. Para penjaga losmen menawari kamar. Kami hanya diam.

“Kami sepasang suami istri lho, bukan orang pacaran,” batinku. Sebenarnya tawaran menginap itu enggak selalu identik orang pacaran. Cuma kadangkala disalahgunakan oleh pasangan tidak sah menginap di hotel atau losmen.

Sepeda motor terus melaju. Jalannya semakin sunyi dan jarang  kendaraan. Jantungku agak berdebar. “Aduh, tempatnya sunyi dan asing lagi, benar enggak sih jalannya bakal tembus ke Gunungkidul?", gumamku.

Tak terasa tiba di sebuah jalan yang nampak lebar dan aspalnya baru. Di situ mulai ada rumah penduduk. Rasanya lega. Aku tanya ke seorang ibu, “Bu, badhe nyuwun pirsa. Dalan niki nopo tembus pantai Gunung Kidul (Bu, mau tanya. Jalan ini apakah tembus ke Gunung Kidul?"

“Inggih Mbak (Iya Mbak),” jawabnya.

Ah, berarti kami tidak salah jalan.




Dengan mantap kami melewati jalan mulus dan lebar. Jarang kendaraan yang berpapasan dengan kita. Agak lama kami menyusuri jalan, hingga waktu dhuhur. Suami mencari masjid untuk shalat, sedangkan aku baru “libur.” Di pinggir jalan ada masjid tampak sepi dan tidak terurus. Kami ragu untuk ibadah di sana. Lalu jalan lagi. Menemui plang petunjuk ada masjid belok kiri. Kami masuk perkampungan hingga tiba di sebuah masjid.

Masjidnya juga sepi. Bagian teras ditutup jaring-jaring. Tersebab di sekitar masjid ada banyak ayam, maka dipasang jaring biar tidak masuk masjid. Di sampingnya ada rumah joglo. Tampak wanita tua berpakaian kemben sedang menjemur damen. Di depan masjid adalah bukit. Tempat wudhu dan kamar mandi ada di atas sebelah kanan. 

Walau di sini sama-sama Yogyakarta tempat asalku, tapi terasa asing dan berbeda. Di sini suasana desa sangat terasa, sementara di Sleman tempat tinggalku hiruk pikuk aktivitas orang sangat padat. Kemacetan menjadi pemandangan setiap hari. Hampir jarang ditemui wanita tua memakai pakaian kemben sembari menjemur padi atau mendengarkan “uyon-uyon.”

Setelah shalat dhuhur dan istirahat sejenak kami mampir membeli bekal makan siang. Sengaja beli di warung biar murah. Kalau beli di tempat wisata biasanya mahal.

Tak terasa sudah masuk kawasan pantai. Di sini setiap orang dikenal biaya Rp 10.000,- Nanti jika masuk pantai sudah gratis hanya dikenai biaya parkir saja. Murah sekali bukan. Kita bisa menikmati sepuasnya pantai di sepanjang Gunung Kidul.

Tidak semua pantai dikunjungi. Memilih pantai yang belum pernah dikunjungi. Untuk pantai Baron, Kukup, Indrayanti, Drini, Sundak karena sudah pernah tidak kami masuki. Kecuali untuk Drini dulu pas masuk masih baru dan hanya sekilas jadi sudah lupa, pengen masuk lagi. 

1. Pantai Drini 







Sekira jam 13.00 kami sampai di pantai Drini. Suasana cukup ramai. Pantai ini juga indah dengan pasir putihnya. Di sisi kanan ada batu karang dan aliran air yang jernih.

Pantai ini adalah tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan. Oleh karenanya ada pasar ikan yang membuat pantai tergolong ramai. Pembeli bisa membeli oleh-oleh di sini.

Oya kalau niat mau beli oleh-oleh jangan ditunda tunda bakal ketemu pasar ikan. Enggak semua pantai ada pasar ikannya. Saya termasuk kecewa karena dari awal sudah menunda nanti-nanti beli oleh - oleh di pantai lain. Ternyata pantai berikutnya yang aku masuki tidak ada satupun pasar ikan. Padahal sebelumnya sudah dititipi oleh oleh. Nyesel sih, nggak bisa nyenengin keluarga. Setelah cukup puas kami keluar, memilih pantai lain. 

2. Pantai Slili


Pantai Slili. Dari Kejauhan tampak tulisan Pantai Krakal yang berdampingan dengan Pantai Slili

Kami enggak mampir ke pantai Krakal, malah ke pantai sesudahnya. Di sini cukup ramai anak muda.  Dari kejauhan tampak tulisan Krakal begitu indah. Menikmati pemandangan sembari makan cemilan.

Pantai Slili ini diapit oleh dua pantai. Sebelah barat Pantai Krakal, sedangkan sebelah timur pantai Sradanan. Pantainya mungil. Garis pantainya tidak lebih dari 100 meter, sehingga lebih tenang dan bersih. Cocok untuk tempat istirahat. Di sini memiliki dasar pantai berbatu karang dan dihiasi terumbu karang. Namun karena pantainya dangkal, terumbu karang kurang berkembang sehingga tidak bisa untuk snorkling.

Meski begitu pantai Slili tetap menyediakan penyewaan snorkling yang bisa digunakan di pantai Sradanan atau Krakal.

Dirasa sudah cukup lanjut ke pantai berikutnya. Tapi begitu mau keluar, kok di sisi kanan ramai orang masuk. Memang di situ ada apa? Karena penasaran kami masuk. Ternyata pantai Sradanan. 


3. Pantai Sradanan



Pantai Sradanan 


Di pantai ini emang cocok buat kawula muda. Bisa buat snorekling. Ada banyak turis mancanegara. Benernya pengen snorkling tapi karena tidak persiapan baju ganti jadinya enggak berani. Hanya lihat-lihat saja.

Nama pantai ini bermula karena tempat ini sering diselenggarakan upadara Nyadran. Nyadran adalah upacara sedekah laut sebagai ungkapan rasa syukur warga atas rezeki yang melimpah dan doa agar hasil tangkapan ikan bertambah.

Di objek wisata ini pengunjung dimanjakan oleh banyak wahana yang dapat dinikmati.

1.    Jet Ski 

Bagi yang suka kebut-kebutan bermain jet ski adalah pilihan yang tepat. Sewa alat ini 250 ribu. Sudah dilengkapi dengan pengaman berstandar internasional.

2.    Perahu Kano

Bagi yang ingin berkeliling pantai, melihat batu karang besar dengan menggunakan perahu kano. Pengunjung bisa menikmati indahnya pantai sembari mendayung. Sewa perahu 50 ribu. 

3. Gasebo 

Duduk bersantai memandangi pantai dengan menggunakan gasebo. Gasebo ini disewakan mulai dari 10 ribu sampai 25 ribu. 

4. Tikar 

Memandangi laut di bibir pantai juga nikmat lho. Menyewa tikar cukup 20 ribu. 

5.    Snorkling

Menyelam sembari melihat biota laut samgat menyenangkan bukan. Peralatan snorkling ini disewakan 50 ribu dengan peralatan lengkap berstandar internasional. Tidak hanya itu, kita ditemani guide yang membantu mengambil gambar di bawah laut. Menunjukkan spot foto yang menarik.
Saat melakukan kegiatan ini sebaiknya saat air pasang. Kalau pagi pukul 08.00-10.00. Kalau sore pukul 06.00.18.00. Pada musim penghujan dan sore hari, ikan ikan melimpah. Sebaiknya datang waktu itu.


4. Pantai Ngandong




Pasir putih 




Sebenarnya aku agak lupa nama pantainya apa. Aduh enggak valid banget ya, hehe.  Sempat dicatat tapi saking lamanya entah kemana catatan itu. Tapi yang jelas setelah pantai Sradanan.  Pantai ini  memang tidak terlalu ramai. Masih kalah pamor dengan pantai-pantai yang lain seperti Indrayanti, Sundak, Baron, Krakal, Kukul dan lain sebagainya. Tapi kami memang sengaja mencari pengalaman baru.

Berjalan menyusuri pantai yang cukup jauh. Agak capek karena butuh energi besar saat jalan karena setiap langkah kaki selalu masuk ke dalam pasir. Bibir pantai yang memanjang seperti pantai Parangtritis, sehingga pengunjung tak perlu khawatir tak kebagian tempat saat di pantai jika sedang ramai pengunjung. Kami sempat foto-foto juga di depan batu karang.


5. Pantai Pok Tunggal


Setelah keluar dari pantai Ngandong kami lanjut menaiki motor. Sebelumnya aku dapat info dari sepupu pantai yeng kerja di Gunung Kidul. Katanya pantai yang paling bagus adalah Pok Tunggal karena penasaran kami berusaha mencari. Ternyata posisi pantai ini terpisah dengan deretan pantai tadi. Kami harus mengendarai sepeda motor sekitar 1 jam. Jalananya juga agak sepi. Hingga sampai sebuah plang bertuliskan pantai Pok Tunggal.

Di jalan menuju pantai ada pos penjaga dan kotak amal pembangunan jalan Pok Tunggal. Sempat kaget jalannya cukup menantang. Terjal dan bebatuan enggak ngira kalo jalan ke arah sana ada pantai. Untuk mencapai pantai Pok Tunggal agak jauh. Tapi disitu kita bisa menyaksikan kehidupan orang desa. Ada sebuah rumah di tengah kebun. Masih ada nenek memakai jarik memanggul rumput untuk hewan ternaknya. 

Sesampai di pantai kondisi fisik kami sudah lelah. Melihat pemandangan ya hanya biasa saja. Padahal sebelumnya diberi tahu kalau pantai ini indah sekali. Rasa indah itu seakan sudah sirna. Apakah karena sudah lelah atau sudah bosan melihat pantai yang hampir sama. Semua intinya pasir putih, air jernih dan terdapat batu karang.

Nama pantai Pok Tunggal berasal dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir pantai. Namanya Pohon Duras. Dalam bahasa Jawa, pohon disebut "pokok". Berhubung pohon Duras ini hanya ada satu. Maka disebut Pantai Pok Tunggal.

Meski tempat ini agak sulit dijangkau tapi begitu sampai pantai banyak kendaraan juga. Ada mobil pajero, mobilio dan lain-lain. Ternyata enggak sepi.




Berhubung sudah hampir petang dan lelah kami melihat sebentar lalu pulang. Melewati waktu ashar kami berhenti di sebuah masjid untuk shalat. Saya menunggu. Kami melanjutkan perjalanan lagi. Sebenarnya agak deg degan karena masih harus menempuh perjalanan cukup jauh. Walau sama-sama Yogyakarta tapi posisinya di ujung Gunung kidul. Sementara rumahku di sleman.

Waktu sekitar maghrib kami melewati Bukit Bintang, Patuk. Pemandangan yang indah dan waktu yang tepat buat melihat kota Yogya dari atas. Tapi karena takut kemalaman dan sudah capek, kami  enggak mampir. Padahal ini kesempatan langka bagi kami yang domisilinya bukan di Yogya. 

Begitu turun dari bukit perasaanku lega. Jujur saat masih di perbukitan agak takut kalau terjadi apa-apa karena rumah penduduk agak jarang. Walau jalan sangat ramai  tapi kalau ada kejadian misal ban bocor, kan bikin repot.

Turun di jalan Wonosari mulai padat merayap. Kami melewati warung tengkleng hohah milik mas Saptuari. Sudah waktu isya, suami shalat maghrib dan isya' dijamak. 



Melanjutkan perjalanan menyusuri jalan Wonosari, kota Yogya hingga jalan Palagan. Kami membeli mie godog dibawa ke rumah. Pukul 21.00 sampai rumah. Jika dihitung waktu yang ditempuh dari pantai sampai rumah sekitar 3  jam. Ini sama saja perjalanan dari Yogya ke Sragen. Bedanya kalau Yogya - Sragen jalannya datar. Kalau Gunung kidul jalannya naik turun dan berkelok-kelok. Alhamdulillah sampai rumah dengan selamat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Testimoni Praktik JSR

Semenjak mengenal JSR yang digagas oleh Dokter Zaidul Akbar melalui media online. Saya mulai mempraktikkan ilmu tersebut. Semoga dalam mempraktikkan ilmu ini bukan karena “latah” sekadar ikut-ikutan karena ngetrend tapi memang memberikan dampak positif. Harapannya tetap istiqomah di jalan JSR. Praktik JSR Apa saja yang saya lakukan dalam praktik JSR? 1.    Ubah pola makan Pagi dan malam tidak makan nasi putih. Hanya makan buah dan sayur. Kalau misalkan lapar dan lemas, saya makan ubi jalar rebus. Pengganti karbohidrat yang lebih kaya serat dibandingkan nasi putih. Dari segi harga juga murah. Satu kilogram ubi jalar madu dihargai Rp 5000,-. Kalau bukan ubi madu satu kilogramnya hanya Rp 3.000,- cukup untuk dua hari. Untuk siang hari baru makan berat. Saya memang masih konsumsi nasi putih tapi hanya siang hari saja. Tapi diusahakan nasinya sedikit saja, tetap banyak sayurnya. 2. Bikin infused water Dalam sehari saya satu kali bikin infused water. Bu

Sarapan ala JSR

Semenjak mempraktekkan menu sarapan ala JSR, saya mulai membiasakan diri makan buah sayur pada pagi dan malam hari. Hanya siang hari saja makan nasi. Masih belum bisa meninggalkan nasi putih sih. Namanya berproses ya perlahan-lahan. Usahakan dalam sehari porsi buah dan sayur lebih banyak ketimbang nasinya. Ketika saya mempolakan demikian keluhan sembelit pelan-pelan berkurang. Kita ketahui harga buah dan sayur lebih mahal ketimbang beli gorengan atau makanan tak menyehatkan lainnya. Saya mulai siasati bagaimana agar tetap bisa makan buah tapi harganya murah. Kalau sarapan semangka, melon, nanas harus membeli utuh. Sementara jika sudah dibuka tidak bisa bertahan lama atau cepat basi. Setelah dipikir-pikir muncullah ide membeli pisang. Kalau beli satu lirang saja bisa bertahan beberapa hari karena setiap satu buah ada kulitnya sehingga bisa tahan tidak mudah basi. Beruntung saya menemukan pisang emas satu keranjang isi dua lirang hanya dihargai Rp 12000,- . Kalau pisang

Piknik Dadakan ke Gunung Bromo

Mengunjungi Gunung Bromo rasanya tidak ada rasa bosan. Tahun 2013 sebenarnya saya   sudah pernah ke sini bersama rombongan guru-guru SMA N 1 Cangkringan. Acara akhir tahun kala itu ditutup dengan piknik ke Gunung Bromo. Sekaligus pamit untuk terakhir kalinya mengajar di sekolah tersebut. Petualangan saat itu membuat ketagihan ingin ke sana lagi. Pada 29 September 2018, suami mendapat kesempatan piknik ke Gunung Bromo. Keberangkatannya sekitar pukul 20.00 berkumpul di perempatan Ngablak. Malam itu saya masih ngelesi, jadi suami diantar ponakan. Setelah selesai, beres-beres meja dan shalat isya, saya coba ngecek ke tempat berkumpul peserta piknik. Ada rasa penasaran apakah suami sudah berangkat atau belum. Sesampai di sana belum ada yang datang, tapi tak lama kemudian menyusul teman guru bersama keluarganya. Ibu itu mengajak saya sekalian ikut piknik. Tapi saya menolak karena belum persiapan dan tidak ada rencana ikut. Kata beliau nanti bayarnya nyusul tidak apa-apa. Ra