Langsung ke konten utama

Mengunjungi 3 Lokasi Wisata di Semarang




Setiap ada liburan panjang saya biasa gunakan untuk berkunjung ke salah satu tempat wisata. Namanya bepergian pasti membutuhkan waktu, biaya dan fisik yang kuat. Kalau saja pikniknya sampai seharian, sementara besok bekerja, dikhawatirkan tidak masuk kerja karena kecapaian. Maka dari itu gunakan musim liburan ini untuk jalan-jalan.

Liburan lebaran tahun kemarin kami pergi ke Demak dan Kudus. Nah, kali ini milih ke Semarang karena memang sudah menjadi keinginan tahun lalu tapi baru terealisasi sekarang. Sebenarnya tidak ada perencanaan matang untuk ke sana. Hanya spontanitas saja. Sejak awal suami ingin ke Masjid Agung Semarang. Mulanya saya agak kurang tertarik. Paling masjid juga gitu-gitu saja. Sebab sudah sering sekali kalau bepergian mampir ke masjid yang dilewati untuk sholat. Tapi akhirnya ikut pilihan suami.

Dari Sragen kami berangkat pukul sembilan pagi. Memilih rute Purwodadi-Demak. Arah ini jalannya memang tidak terlalu besar, hanya terdiri dua lajur. Kelebihannya sedikit traffic light. Oleh karena itu jalan ini menjadi pilihan. Kami memulai perjalanan sudah agak siang jadi lumayan panas. Dengan bantuan google map untuk sampai ke sana. Selain itu juga memperhatikan plakat penunjuk arah jalan. Perjalanan memakan waktu sekira 3,5 jam. Tak perlu panjang lebar langsung saja ya penjelasan lokasi wisata.


1. Masjid Agung Semarang 

Sempat dibuat bingung sama google map. Menurut penunjuk arah google menyuruh kami belok kanan, sementara kanan jalan hanya berupa gang sempit sekali. Mana mungkin jalan menuju sebuah masjid besar lewat gang sempit? Kami pun terus melanjutkan perjalanan, saat tengok kanan ternyata sudah nampak tulisan “Masjid Agung Semarang.” Dari kejauhan masjid ini tampak besar dan megah. Jauh dari ekspektasi saya sebelumnya yang mengira masjidnya biasa. Pantas saja suami milih berkunjung ke sini. Beliau juga sudah bilang, di masjid ini ada payung seperti yang ada di masjidil haram. Tapi payung itu dibuka hanya saat sholat jumat.






Halaman masjid


Pelataran Masjid

Setelah memarkirkan kendaraan, kami perlahan-lahan memasuki area masjid. Rencananya ingin jamaah sholat dhuhur di sini. Tapi sayang, kedatangan kami terlambat sehingga sudah ketinggalan untuk jamaah. Masjid ini dibuat agak tinggi sehingga untuk masuk ke situ harus naik tangga. Modelnya mirip dengan Masjid Kampus UGM. Pelataran masjid ini cukup luas. 

Terdapat enam payung elektrik. Berhubung ke sana pada hari Rabu sehingga payungnya tertutup. Cuaca belum terlalu terik sehingga para pengunjung masih santai berjalan di pelataran masjid. Tampak beberapa pengunjung duduk bersantai di bawah payung tersebut. Karena sudah waktunya sholat, tanpa istirahat sebentar langsung menuju tempat wudhu untuk menjalankan sholat dhuhur.






Usai waktu dhuhur cuaca semakin panas. Saya melihat tidak ada orang yang duduk di pelataran. Bahkan untuk lewat saja harus berlarian karena telapak kakinya kepanasan. Tampak beberapa pengunjung yang berlari sembari jinjit keluar masjid. 

Ada seorang ibu yang bertanya kepada saya, “Mbak kalau jalan samping bawah itu apa tembus depan?.” “Sepertinya bisa Bu, cuma kalau lewat situ agak kotor karena lantainya bukan keramik. Tapi Insya Allah bisa, tadi ada banyak sandal di bawah kemungkinan ada pengunjung yang lewat samping bawah menuju masjid.” Si ibu ini tidak kuat panas melewati beranda masjid tanpa alas kaki. Saran saya, jika mau ke masjid ini siang hari, hendaknya pakai kaus kaki. Kalau mau berlari ya tidak masalah.





Untuk istirahat dan makan siang kami memilih duduk di pojok dekat tangga. Kebetulan tempatnya tidak panas. Cukup lama melihat suasana di luar masjid. Mata saya langsung tertuju pada sebuah menara tinggi. Nampak di atas beberapa orang berjalan-jalan mengitari menara yang dipagar dengan teralis stainless. Rasa penasaran ingin sekali ke situ, apa sih isi dalamnya.


Tempat Wudhu dan Toilet 

Untuk tempat wudhu putri berada di bawah sebelah kiri masjid. Kalau sudah sampai di beranda masjid langsung turun saja. Nanti ada tempat wudhu tapi sayangnya terbuka, silakan jalan lurus. Sebelah kanan ada pintu, memasuki sebuah lorong. Tak jauh dari situ sebelah kanan ada tempat wudhu dan toilet. Tempatnya lumayan bagus. Jumlah toilet, kamar mandi dan tempat wudhu cukup banyak. Berhubung ini hari biasa, jadi tidak ramai, tak perlu antri panjang. Kalau di pintu bertuliskan kamar mandi berarti tidak ada klosetnya hanya buat buang air kecil dan mandi saja. Tapi jika tulisannya toilet berarti ada klosetnya.

Saya mencari yang tidak ada antrian, di pintu bertuliskan kamar mandi. Begitu masuk, nampak ember penuh air, sementara air kran dari atas terus keluar. Dalam hati merasa sayang, air kebuang sia-sia. Apa krannya rusak. Saya berusaha loncat-loncat sembari memutar kran agar mati. Ternyata bisa berhenti. Mungkin tadi si pemakai sebelumnya kesulitan mematikan kran sehingga dibiarkan begitu saja. Apalagi saya yang tingginya semampai (semeter pun tak sampai), hehe. Pantesan saja, kamar mandi ini sepi lha matiin airnya saja sulit. Putaran krannya terlalu tinggi sehingga banyak orang kesulitan mematikan. 

Mungkin ini bisa menjadi perhatian dari pihak pengelola masjid. Walaupun putaran kran ada di atas tapi dibuat agar mudah dijangkau sehingga pemakai tidak perlu loncat untuk mematikan kran. Seperti kamar mandi yang ada di salah satu kolam renang. Untuk tempat sholat berada di sebelah kanan dari pintu keluar wudhu. Bagian bawah sebenarnya sudah ada karpet bisa digunakan untuk shalat, hanya saja ruangannya gelap. Ruang utama sholat ada di lantai atas.


Ruang Utama Sholat

Ruang utama sholat masjid ini cukup luas. Bagian atas dihiasi dengan lampu yang indah. Yang menarik dari ruangan ini adalah begitu masuk ruang utama disuguhi sebuah al quran berukuran besar dalam sebuah kotak kaca. Awalnya mushaf ini saya kira peninggalan zaman dahulu tapi ternyata tidak. Mushaf akbar ini sengaja dibuat dengan ukuran 145 cmx95 cm. Proses pengerjaannya selama dua tahun tiga bulan. Ditulis oleh Drs. Hayat Universitas Sains Al Qur-an (Unsiq) Wonosobo, Jawa Tengah. Mushaf ini diterima pada 26 Oktober 2005.





Mushaf akbar






Ruang utama masjid



Menara Asmaul Husna

Setelah lelah mengitari masjid, kami menuju menara. Dari kejauhan berdiri menara begitu megah. Hanya saja kesan pertama saya kira menara itu belum jadi karena separuh lebih warnanya abu-abu seperti baru saja disemen belum dicat. Makanya sempat ragu-ragu mau ke situ nggak ya, jangan-jangan bangunannya belum selesai. Tapi kok anehnya di atas ada beberapa orang nampak berjalan mengelilingi menara? Apa hanya orang-orang tertentu saja yang dibolehkan masuk?. Berhubung masih penasaran, langsung tancap ke sana.

Di luar terpasang papan informasi:

Lantai 1 merupakan lobby dan pembelian tiket. Untuk bisa masuk ke lantai atas dikenai biaya Rp 7.500,- perorang. Apabila telah membeli tiket, nanti di depan pintu lift ada petugas yang memencet pintu tersebut. Jadi buat pengunjung tidak disarankan untuk memencet sendiri ya.

Lantai 2 dan 3 adalah museum perkembangan Islam. Disitu ada benda-benda hibah salah satunya dari kyai Gus Mustofa Bisri berupa jubah dan tongkat. Masih ada lagi peninggalan berupa keris dan benda lain. Terdapat foto-foto tokoh yang berjasa bagi perkembangan Islam di Indonesia.

Lantai 18 adalah resto putar. Untuk tempat ini tidak saya kunjungi karena baru saja makan siang.





Kota Semarang dilihat dari ketinggian 99 meter


Lantai 19 adalah menara pandang. Di sini adalah tujuan utama kami. Dapat melihat pemandangan kota Semarang dari ketinggian 99 meter. Angka 99 ini berasal dari Asmaul Husna. Pertama kali sampai ke lantai 99 langsung disambut dengan hembusan angin. MasyaAllah begitu indahnya. 

Pengunjung dapat menggunakan teropong untuk melihat lebih detail suasana di bawah menara. Untuk dapat menggunakan teropong tersebut harus menggunakan koin. Koin itu dapat dibeli kepada petugas dengan harga 1000 rupiah dengan durasi sekitar 1,5 menit. Petugas menyarankan untuk membeli 2000 dulu, nanti kalau kurang bisa beli lagi. Catatan, pengunjung tidak diperbolehkan memasukkan uang koin 1000 milik sendiri. Walau uang 1000 dari petugas sama dengan yang kita miliki.





Foto diambil dari ketinggian 99 meter Menara Asmaul Husna

2. Lawang Sewu

Setelah cukup puas mengitari Masjid Agung, kami melanjutkan perjalanan menuju Lawang Sewu. Jarak antara Masjid Agung ke Lawang Sewu sekitar 5 km. Tak terlalu jauh, oleh karena itu memilih tempat wisata ini agar tidak banyak memakan waktu perjalanan. Lawang Sewu berada di bundaran Tugu Muda. Kami harus mengitari bundaran yang mengubungkan empat simpangan untuk menuju ke Lawang Sewu. Begitu sampai di situ langsung saja memarkirkan kendaraan di sebuah gang yang tak jauh dari pintu masuk. 

Biaya parkirnya cukup mahal untuk sepeda motor Rp5000,-. Kata suami, parkiran ini sepertinya tidak resmi, kalau resmi pasti tidak akan ngasih harga segitu. Bahasa jawanya “nuthuk harga.” Karena sudah terlanjur ya sudahlah tidak apa-apa. Maklum baru pertama kali ke sini, parkiran yang kelihatan dari depan ya hanya ini.

Lawang Sewu merupakan bangunan peninggalan Belanda. Dulunya ini merupakan kantor kereta api yang dibangun pada tahun 1904-1907. Berhubung namanya Lawang Sewu, mungkin sebagian berpikir apakah benar lawang (pintu) jumlahnya ada seribu?. Ternyata tidak. Jumlah blok pintu hanya 429, namun kalau dihitung dengan daun pintu totalnya hingga 928. Berhubung jumlahnya banyak, maka disebut sebagai Lawang Sewu.








Melewati sebuah lorong panjang

Bangunan ini terdapat banyak jendela berukuran besar dan tinggi sehingga masyarakat sering menyebut lawang. Lawang Sewu terdapat beberapa gedung. Salah satunya terdiri dari 3 lantai. Pengunjung umum tidak diperkenankan memasuki lantai 2 dan 3. Tangga menuju lantai dua terdapat tali sebagai tanda bahwa dilarang masuk.


Namun, saya melihat ada beberapa anak muda yang mengenakan baju cosplay nampak berjalan di lantai dua. Mungkin untuk tujuan pemotretan. Barangkali lantai dua dan tiga sengaja tidak boleh dikunjungi orang umum karena lawang sewu adalah bangunan tua. Jika bebas dikunjungi setiap orang, dikhawatirkan bangunan akan roboh. Ini hanya perkiraan saya saja lho.

Bagian dalam bangunan lawang sewu terdapat lorong yang cukup panjang, kanan kirinya terdapat pintu-pintu besar. Tempat ini menarik untuk pemotretan. Terdapat banyak ruangan, tapi kosong. Di luar ada taman yang bertuliskan “Lawang Sewu.” Di sampingnya ada peninggalan kereta api yang sudah tua. Di halaman tengah terdapat beberapa pohon dan tempat duduk sehingga bisa istirahat sebentar untuk menghilangkan kelelahan setelah berkeliling bangunan lawang sewu.








   3. Grand Maerakaca Taman Mini Jawa Tengah


    Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sempat ragu-ragu melanjutkan perjalanan atau pulang. Khawatirnya Maerakaca tutup pukul 17.00. Setelah bertanya ke tukang parkir, ternyata tutupnya sampai jam 21.00. Berarti masih cukup waktu untuk melanjutkan kunjungan. Perjalanan memakan waktu sekira 30 menit hingga tiba di Maerakaca. Saat itu bersamaan dengan PRPP (Pekan Raya Promosi Pembangunan) sehingga di dekat Maerakaca ada banyak stand pameran dan wahana bermain. 

      Tiket masuk Maerakaca Rp10.000,- perorang. Biaya parkir hanya Rp2.000,-. Di tempat ini terdapat rumah adat dari berbagai kabupaten di Jawa Tengah. Berhubung waktu sudah sore, badan juga sudah terasa capek kami tidak mengelilingi semuanya. Hanya beberapa saja. Di tempat ini pengunjung boleh mengendarai sepeda motor untuk mengitari Maerakaca. Kalau kalian bawa sepeda motor, dan tak ingin capek silakan kendarai saja sepeda motornya.





Saya jadi teringat beberapa tahun silam saat masih kelas 4 SD mengunjungi lokasi ini. Tempat ini luas, ada acara jambore dan lokasinya dekat dengan pantai. Namun ketika sekarang datang ke sini, ternyata tidak seluas yang saya pikirkan dulu. Mungkin karena efek dulu masih kecil. Yang saya suka dari tempat ini adalah hutan mangrove. 

Kami mengitari hutan yang di bawahnya terdapat air yang tenang. Ada pengunjung yang berani memasukkan kakinya ke dalam air.  Apa mereka tidak khawatir nanti ada buaya. Bukankah buaya menyukai air yang tenang. Saya tak banyak mengabadikan lokasi wisata ini. Hanya kabupaten Demak dan Sragen. Jelas kabupaten Sragen tidak ketinggalan karena itu tempat kami tinggal. Hehe.



Rumah adat Kabupaten Demak



Rumah adat Kabupaten Sragen. Tampak ada manusia purba menjadi ikon kota Sragen khususnya Sangiran


Hutan Mangrove

Pukul 17.00 kurang kami memutuskan untuk pulang karena khawatir kemalaman. Dalam perjalanan kami mencari toko oleh-oleh tapi jarang ketemu. Mungkin kalau cari di google map bisa sih. Tapi berhubung sudah capek dan malam kami memilih cari toko oleh-oleh yang dilewati saja. Sempat menemui toko oleh-oleh di kiri jalan, tapi kendaraan sudah terlanjur melaju kencang. Di sebelah kanan jalan menemui dua toko oleh-oleh tapi suami malas menyeberang. Akhirnya memilih beli oleh-oleh di kota Salatiga saja. Enting-enting gepuk menjadi pilihannya. Selain murah, bisa dibagi banyak orang. Itu tadi sekilas perjalanan kami menuju 3 tempat wisata di Semarang. Mohon maaf mungkin keterangannya kurang detail maklum masih latihan. Hehe.


Komentar

  1. Kalau suami jadi pindah ke Semarang, mungkin 3 destinasi ini yang jadi target saya mb🤭

    BalasHapus
  2. Lawang Sewu itu manchap. Sampe menjadi inspirasi ruang bawah tanahnya One Punch Man chapter terbaru hehehe

    BalasHapus
  3. Walaupun beberapa kali bolak balik semarang, tapi belum pernah mampir ke lawang sewu sama taman mini jawa. Next mau mampir sini juga ah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak kapan-kapan disempetin ke sini, hihi

      Hapus
  4. Wah, menarik ini Mbak. Bahasannya lengkap sekali. Jadi pengen ke Masjid Agung Semarang. Tapi kalau boleh saran, foto-fotonya dibuat lebih besar, Mbak biar lebih jelas lihatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya mbak. Makasih masukkannya ya. Btw saya masih pemula di dunia ngeblog, hehe

      Hapus
  5. Ya Allah, itu kranbya enggak kunjung dibenerin yaaa... Aku ke situ awal2 tahun 2018 pun kekgitu kondisinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah berarti udah lama juga ya. Hmm padahal sayang ya airnya kebuang sia-sia. Semoga ke depan ada perhatian lebih lanjut

      Hapus
  6. Baru sempat ke masjid agung dan lawang sewu.kalau ke semarang lagi, Insya Allah langsung cus ke Grand Maerakaca... :)

    BalasHapus
  7. Masjid Agung Semarang ini termasuk viral juga dengan payung-payungnya yang teduh dan indah. Aku belum kesampaian ke sana. Padahal, kemarin tuh suami tiap Minggu tugas ke sana. Tapi kok ya gak pernah ikut gitu lho. Kalau dipikir-pikir kok ya rugi banget aku tuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok-besok ikut suami pas tugas ke sana lagi ya. Kalau nyempetin piknik sendiri itu kadang ga kesampaian. Mending ikut sekalian pas tugas suami, hihi

      Hapus
  8. Masjid Agung memang bagus banget Mbak. Begitu juga dengan Lawang Sewu. Alhamdulilah sudah kesampaian untuk berkunjung ke sana. Tapi masih pengen ke sana lagi��.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah dah ke sana. Bikin ketagihan, hehe

      Hapus
  9. Masjidnya indah, smoga suatu hari bisa mampir ke sana ya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Testimoni Praktik JSR

Semenjak mengenal JSR yang digagas oleh Dokter Zaidul Akbar melalui media online. Saya mulai mempraktikkan ilmu tersebut. Semoga dalam mempraktikkan ilmu ini bukan karena “latah” sekadar ikut-ikutan karena ngetrend tapi memang memberikan dampak positif. Harapannya tetap istiqomah di jalan JSR. Praktik JSR Apa saja yang saya lakukan dalam praktik JSR? 1.    Ubah pola makan Pagi dan malam tidak makan nasi putih. Hanya makan buah dan sayur. Kalau misalkan lapar dan lemas, saya makan ubi jalar rebus. Pengganti karbohidrat yang lebih kaya serat dibandingkan nasi putih. Dari segi harga juga murah. Satu kilogram ubi jalar madu dihargai Rp 5000,-. Kalau bukan ubi madu satu kilogramnya hanya Rp 3.000,- cukup untuk dua hari. Untuk siang hari baru makan berat. Saya memang masih konsumsi nasi putih tapi hanya siang hari saja. Tapi diusahakan nasinya sedikit saja, tetap banyak sayurnya. 2. Bikin infused water Dalam sehari saya satu kali bikin infused water. Bu

Sarapan ala JSR

Semenjak mempraktekkan menu sarapan ala JSR, saya mulai membiasakan diri makan buah sayur pada pagi dan malam hari. Hanya siang hari saja makan nasi. Masih belum bisa meninggalkan nasi putih sih. Namanya berproses ya perlahan-lahan. Usahakan dalam sehari porsi buah dan sayur lebih banyak ketimbang nasinya. Ketika saya mempolakan demikian keluhan sembelit pelan-pelan berkurang. Kita ketahui harga buah dan sayur lebih mahal ketimbang beli gorengan atau makanan tak menyehatkan lainnya. Saya mulai siasati bagaimana agar tetap bisa makan buah tapi harganya murah. Kalau sarapan semangka, melon, nanas harus membeli utuh. Sementara jika sudah dibuka tidak bisa bertahan lama atau cepat basi. Setelah dipikir-pikir muncullah ide membeli pisang. Kalau beli satu lirang saja bisa bertahan beberapa hari karena setiap satu buah ada kulitnya sehingga bisa tahan tidak mudah basi. Beruntung saya menemukan pisang emas satu keranjang isi dua lirang hanya dihargai Rp 12000,- . Kalau pisang

Minuman ala JSR

Sudah sekitar enam bulan saya mempraktikkan resep JSR ala dokter Zaidul Akbar. Sebenarnya sudah sejak bulan puasa, hanya saja saat itu belum bisa mempraktikkan dengan serius ada banyak godaan. Salah satunya menu buka puasa di mushola yang belum sesuai resep JSR. Warga kami membiasakan berbuka puasa bersama di mushola, bukan perkara dapat makannya tapi rasa kebersamaan itu yang bikin nikmat dan hangat sesama jemaah. Mungkin ada bertanya apa itu JSR? JSR adalah Jurus Sehat Rasulullah. Pola hidup sehat seperti yang dituntunkan Rasulullah. Intinya kita mempolakan hidup sehat yang tujuannya agar semakin khusyuk beribadah dan dekat kepada Allah. Jadi JSR ini bukan untuk  lifestyle atau gaya-gayaan. Jika sudah menerapkan hidup sehat tapi ibadahnya tidak meningkat maka menurut dokter Zaidul itu percuma saja.  Infused water rimpang-rimpangan Mengetahui resep ini bermula sharing ilmu dari dokter Zaidul Akbar yang bersliweran di media sosial. Awalnya saya tidak ngeh