Langsung ke konten utama

Liburan Tipis-tipis ke Masjid Agung Demak dan Masjid Menara Kudus








Setiap kali liburan lebaran seringkali aku manfaatkan untuk jalan-jalan ke tempat wisata. Lumayan kan liburannya cukup panjang. Salah satu tujuan tempat wisata adalah Masjid Agung Demak dan Kudus. Rencana ini baru terealisasi pada Ahad, 1 Juli 2018. Mungkin bisa dibilang aku termasuk orang yang terlambat datang ke sana. Secara sebagian besar khususnya kaum muslim pernah berkunjung ke Masjid Agung Demak dan Kudus. Mengapa aku memilih Masjid Demak dan Kudus? Karena masjid ini memiliki nilai sejarah bagi penyebaran agama Islam di Jawa. Walau sesampai disana aku tidak sempat mengulik lebih dalam sejarah masjid ini.


Melewati Gapura-gapura Megah

Perjalanan dari Sragen menuju Demak ditempuh kurang lebih tiga jam. Waktu tempuh yang dihabiskan sama saat kami pergi ke Semarang. Sesampai di sebuah pertigaan pertigaan terdapat papan petunjuk jalan yang mengarahkan Demak untuk jalan lurus. Kalau belok ke kiri tujuan arah Semarang. Nah mulai jalan ini hampir tidak ditemukan traffic light. Jalannya lurus hampir jarang ditemui perempatan. Hal yang menarik perhatianku adalah gapura desa-desa yang kami lalui. Gapuranya sangat megah tidak seperti gapura di daerahku.


Setelah itu kami melewati perkebunan jambu air. Nah ini yang menjadi ciri khas Demak yakni jambu air Demak yang rasanya manis. Dikarenakan baru mau berangkat kami tidak mampir langsung menuju tujuan utama. Rencananya nanti saat pulang mampir ke kebun jambu sembari beli.


1. Masjid Agung Demak

Pedagang di Pinggir Masjid Agung Demak







Suasana pusat kota mulai terasa. Tampak toko-toko berderet di sepanjang jalan. Sebentar lagi mau sampai Masjid Agung Demak yang lokasinya ada di lingkungan Alun-alun Kota Demak. Di jalan tersebut kami disambut dengan sebuah lagu “Deen Salam” yang dinyanyikan Nisa Sabyan yang saat itu lagi ngehits. Lagu itu seakan semakin mendukung suasana islami yang berada tak jauh dari masjid.


Tibalah kami di alun-alun kota Demak. Masjid Agung Demak terletak di Jl Sultah Fatah, Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Di sekitar pinggir masjid ini ada beberapa penjual makanan. Mulai dari mie ayam, bakso, penthol dan lain sebagainya.


Kami datang ke sini tepat saat shalat dhuhur. Bangunan Masjid Demak ini berbentuk joglo. Di pojok sisi kanan terdapat bedug bertuliskan Masjid Agung. Aku melihat ada petugas masjid yang memakai iket jawa. Ia sesekali menjelaskan bangunan ini kepada pengunjung. Semakin siang pengunjung semakin banyak. Di sisi kanan terdapat kamar mandi dan tempat wudhu wanita. Sedangkan di sisi kiri bangunan utama adalah tempat wudhu laki-laki.

Sebelah kirinya tempat wudhu putra ada bangunan tertulis Museum Masjid Demak. Namun sayangnya saat kami ke situ ditutup. Apa karena hari Ahad sehingga libur, aku kurang tahu. Sebelah kanan tempat wudhu putri terdapat makam. Aku lihat beberapa pengunjung masuk ke situ dengan mencopot alas kaki sembari mencangkingnya di tangan. Entah kenapa saat itu aku enggan berjalan ke mana-mana hanya duduk di halaman masjid. Kebetulan serangan pusing melanda, jadi mau ke mana-mana tidak minat.


Usai shalat dhuhur saatnya makan siang. Kebetulan aku sudah bawa bekal makan dari rumah. Kami makan bekal tersebut. Tapi berhubung udara terik,  ingin makan  lagi yang ada kuahnya yaitu bakso. Lidahku sudah tak sabar untuk merasakan sensasi kuah bakso. Langsung saja memesan ke penjual yang ada di depan masjid.

“Pak, beli bakso”

“Iya”

Sembari menunggu aku mengamati lingkungan sekitar. Kami duduk di bawah pohon dekat pagar masjid. Bapak penjual ada di luar pagar. Tak berapa lama si bapak mengantar pesananku melalui atas pagar. Dia sudah tahu keberadaan kami. Kuterima dengan senang hati sembari membayangkan segarnya kuah bakso. Eit, tiba-tiba mataku terbelalak begitu melihat makanan yang aku pesan.
“Lhoh kok mie ayam,”  ujarku pada suami. 


“Padahal aku pengen kuah bakso.”  Mukaku cemberut tanda kecewa. Bingung mau komplen atau tidak, padahal makanan sudah terlanjur dibuat. Ya sudah deh terpaksa dimakan. Padahal perutku sudah penuh makan nasi. Minta Pak suami menghabiskan, ternyata dia cuma bantu makan sedikit karena perutnya sudah penuh. Dengan terpaksa aku memakan walau pada akhirnya tidak bisa habis karena perutku benar-benar tak mampu. Lagi pula dari segi rasa kurang memuaskan.


Setelah dirasa cukup, mangkok aku kembalikan sembari membayar. Mie ayam ini dihargai Rp 10.000,-. Kuamati dengan seksama gerobak mie ayam ini. Ah ternyata dari depan ada tulisan mie ayam tapi enggak gitu jelas. Tapi kalo dilihat dari sisi tempat aku duduk di bawah pohon, gerobak ini mirip banget bakso. Di situ juga ada gelinding bakso yang nampak dari kaca gerobak. Ya sudahlah untuk pengalaman.


Penjual kuliner di tempat wisata terkadang tidak memperhatikan segi rasa yang penting bisa jualan makanan untuk menghilangkan rasa lapar pembeli. Sebab pengunjung di sini butuh makan, kalau tidak bawa bekal mau tak mau membeli dari para penjual ini. Harga mie ayam Rp 10.000 ini tidak sebanding dengan rasanya yang terkesan dibuat dengan asal-asalan. Sebagai masukan saja, untuk penjual di sekitar situ agar mengutamakan pelayanan yang baik dan kejujuran.  


Memang pertama aku yang salah karena keliru penjual. Saat memesan makanan, apakah si bapak ini tidak mendengar sehingga salah tangkap dikiranya mie ayam bakso atau memang sengaja dilayani mie ayam bakso walau yang ia dengar bakso. Mungkin ini hanya oknum saja, saya kira masih banyak penjual yang baik dan pelayannnya memuaskan. Untuk pengunjung juga agar lebih cermat saat akan membeli biar tidak keliru.



Bangunan Masjid Agung Demak




Atap Masjid

Mungkin aku tidak akan banyak membahas mengenai sejarah Masjid Agung Demak hanya menyampaikan sekilas saja. Masjid Demak termasuk sebuah masjid  tertua yang didirikan oleh Raden Patah dan Wali Songo pada abad ke-15. Atap masjid berbentuk limas yang berundak tiga memiliki makna Iman, Islam dan Ihsan, selain itu juga sebagai wujud akulturasi budaya dengan agama Hindu.

Tiang Tatal

Bangunannya berbentuk joglo sehingga terdapat tiang penyangga yang disebut Soko Guru. Keempat tiang tersebut memiliki tinggi 16 meter. Terdapat satu tiang yang unik yang disebut tiang tatal. Mengapa tiang ini disebut Tiang Tatal? Karena tiang ini berasal dari serpihan-serpihan kayu bukan kayu utuh yang ditata dan dipadatkan kemudian diikat membentuk tiang yang rapi.




Kompleks Makam Kesultanan Demak

Makam yang terletak di sisi kanan masjid. Tempat ini merupakan kompleks makam Kesultanan Demak. Di sana terdapat makam Raden Patah yang merupakan raja pertama Demak, Makam Pati Unus (raja Demak ke-dua), makam Sultan Trenggono (raja Demak ke-tiga), makam Syekh Maulana Maghribi dan masih banyak lagi.

Sekira pukul 13.00 kami meninggalkan Masjid Agung Demak hendak menuju Masjid Kudus. Dalam perjalanan kami menemui makam Sunan Kalijaga di kadilangu yang berjarak sekira 3 km dari Masjid Agung Demak. Banyak rombongan bus yang datang ke sini. Kendaraan kami sempat belok ke situ mengamati suasana. Sebenarnya aku cukup penasaran ingin melihat ke dalam. Tapi begitu melihat dari kejauhan penuh sesak orang, kami memilih batal saja.


Perkebunan Jambu Air





Seperti rencana kami di awal membeli oleh-oleh jambu air. Tepat melewati perkebunan jambu, kami berhenti. Di situ ada sebuah mejad dan tikar untuk menaruh barang dagangan berupa jambu air yang sudah dikemas dalam plastik. Harganya beragam. Yang agak besar dan bagus satu bungkus plastik dihargai Rp 10.000. Aku membeli beberapa bungkus plastik. Selain itu juga ada tambahan jambu yang baru saja dipetik dari pohon. Cuaca semakin terik, sepanjang perjalanan sesekali aku makan jambu karena tak tahan haus.


Karya Warga Usai Takbir Keliling

Saat perjalanan kami dihadapkan pilihan cabang jalan. Sebenarnya dari google maps sudah memberitahu untuk belok tapi Pak suami tidak yakin. Ia memilih jalan pilihannya sendiri. Kami terus menyusuri jalan ini sekira satu jam. Pak suami merasa agak aneh kok enggak sampai-sampai, setelah dicek ternyata kami salah jalan yang justru kembali lagi ke Demak. Akhirnya harus balik menempuh satu jam lagi. Baru kemudian belok jalan menuju Masjid Menara Kudus.


Jalan yang kami lewati tipenya juga sama lurus hampir tanpa traffic light. Berhubung saat aku lewat usai lebaran sehingga masih ada sisa-sisa benda saat takbiran. Setiap desa membuat arak-arakn yang ditaruh di sepanjang jalan. Beragam wujudnya tidak selalu bernuansa Islami seperti masjid dan bedug. Bahkan ada juga makhluk khayalan berupa monster. Sayangnya aku tidak sempat mengambil foto.



2. Masjid Menara Kudus

Bangunan Masjid Menara Kudus






Masjid Menara Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Berada di sebuah gang sempit sebuah perkotaan. Yang menarik dari Masjid Menara Kudus adalah menara yang menjulang tinggi tersusun dari batu bata, bentuknya menyerupai candi khas Jawa Timur. Tak sedikit orang berebut untuk bisa mengambil gambar di depan menara ini. Bangunan ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Islam dengan Hindu. Didirikan oleh Sunan Kudus atau Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi.


Menara masjid terdapat tiga bagian: kaki, badan dan puncak bangunan khas Jawa-Hindu. Menariknya material menara ini dari batu bata yang disusun tanpa perekat semen. Kenapa tidak lepas ya padahal sudah berdiri ratusan tahun silam. Pada bagian puncak terdapat semacam mustika seperti pada puncak atap bangunan-bangunan masjid tradisional di tanah Jawa. Terpasang sejumlah keramik dari Cina yang mengelilingi tubuh menara. Di bagian belakang menara terdapat tangga untuk mencapai puncak tapi sayang pintunya terkunci sehingga pengunjung tak bisa naik.





Kompleks Pemakaman

Makam yang berada di sisi kanan  masjid. Di pintu masuk ini ada penjaga keamanan. Di sana aku melihat para pengunjung berwudhu terlebih dahulu sebelum memasuki makam inti. Kalau aku hanya sekadar cuci tangan dan kaki. Lalu masuk ke pintu berikutnya. Kami disuruh menanggalkan alas kaki. Nah alas kaki ini bisa disimpan di sekitar makam. Aku terus memasuki ruang demi ruang makam. Sampailah pada ruang inti yakni makam Sunan Kudus. Di makam tersebut dikeliling jamaah yang sedang berdzikir. Pengunjung dilarang untuk mengambil gambar, makanya aku tak bisa memfoto. Suasana bagian dalam makam ini agak gelap, atapnya rendah, penuh sesak dan panas. Hanya melihat sebentar karena sudah tidak tahan bernapas. Ternyata pintu keluar itu menuju pemukiman penduduk. Jadi makam ini ada di sekitar penduduk kota yang rumahnya berdekat-dekatan. Kompleks pemakaman ini berisi makam ulama dan tokoh diantaranya Panembahan Condro, Pangeran Pedamaran dan Panembahan Palembang.




Setelah itu aku segera mengambil sandal dan keluar lingkungan makam. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kami langsung memilih segera pulang karena takut kemalaman. Arah pulang ini melewati jalan yang di setiap desa berdiri gapura nan megah. Di sisi seberang ada semacam gundukan tanah memanjang sepanjang jalan. Aku kira itu waduk tapi sepertinya bukan. Setelah berkendara sekitar 3 jam dan mampir ke masjid untuk shalat, kami sampai rumah pukul 21.00 WIB.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Testimoni Praktik JSR

Semenjak mengenal JSR yang digagas oleh Dokter Zaidul Akbar melalui media online. Saya mulai mempraktikkan ilmu tersebut. Semoga dalam mempraktikkan ilmu ini bukan karena “latah” sekadar ikut-ikutan karena ngetrend tapi memang memberikan dampak positif. Harapannya tetap istiqomah di jalan JSR. Praktik JSR Apa saja yang saya lakukan dalam praktik JSR? 1.    Ubah pola makan Pagi dan malam tidak makan nasi putih. Hanya makan buah dan sayur. Kalau misalkan lapar dan lemas, saya makan ubi jalar rebus. Pengganti karbohidrat yang lebih kaya serat dibandingkan nasi putih. Dari segi harga juga murah. Satu kilogram ubi jalar madu dihargai Rp 5000,-. Kalau bukan ubi madu satu kilogramnya hanya Rp 3.000,- cukup untuk dua hari. Untuk siang hari baru makan berat. Saya memang masih konsumsi nasi putih tapi hanya siang hari saja. Tapi diusahakan nasinya sedikit saja, tetap banyak sayurnya. 2. Bikin infused water Dalam sehari saya satu kali bikin infused water. Bu

Sarapan ala JSR

Semenjak mempraktekkan menu sarapan ala JSR, saya mulai membiasakan diri makan buah sayur pada pagi dan malam hari. Hanya siang hari saja makan nasi. Masih belum bisa meninggalkan nasi putih sih. Namanya berproses ya perlahan-lahan. Usahakan dalam sehari porsi buah dan sayur lebih banyak ketimbang nasinya. Ketika saya mempolakan demikian keluhan sembelit pelan-pelan berkurang. Kita ketahui harga buah dan sayur lebih mahal ketimbang beli gorengan atau makanan tak menyehatkan lainnya. Saya mulai siasati bagaimana agar tetap bisa makan buah tapi harganya murah. Kalau sarapan semangka, melon, nanas harus membeli utuh. Sementara jika sudah dibuka tidak bisa bertahan lama atau cepat basi. Setelah dipikir-pikir muncullah ide membeli pisang. Kalau beli satu lirang saja bisa bertahan beberapa hari karena setiap satu buah ada kulitnya sehingga bisa tahan tidak mudah basi. Beruntung saya menemukan pisang emas satu keranjang isi dua lirang hanya dihargai Rp 12000,- . Kalau pisang

Minuman ala JSR

Sudah sekitar enam bulan saya mempraktikkan resep JSR ala dokter Zaidul Akbar. Sebenarnya sudah sejak bulan puasa, hanya saja saat itu belum bisa mempraktikkan dengan serius ada banyak godaan. Salah satunya menu buka puasa di mushola yang belum sesuai resep JSR. Warga kami membiasakan berbuka puasa bersama di mushola, bukan perkara dapat makannya tapi rasa kebersamaan itu yang bikin nikmat dan hangat sesama jemaah. Mungkin ada bertanya apa itu JSR? JSR adalah Jurus Sehat Rasulullah. Pola hidup sehat seperti yang dituntunkan Rasulullah. Intinya kita mempolakan hidup sehat yang tujuannya agar semakin khusyuk beribadah dan dekat kepada Allah. Jadi JSR ini bukan untuk  lifestyle atau gaya-gayaan. Jika sudah menerapkan hidup sehat tapi ibadahnya tidak meningkat maka menurut dokter Zaidul itu percuma saja.  Infused water rimpang-rimpangan Mengetahui resep ini bermula sharing ilmu dari dokter Zaidul Akbar yang bersliweran di media sosial. Awalnya saya tidak ngeh