Langsung ke konten utama

Mendung Gerimis Menghiasi Garebeg Mulud Yogya



Memperingati Hari Maulid Nabi, Keraton Yogyakarta punya acara yang ditunggu-tunggu warga yakni Garebeg Mulud. Kegiatan ini seakan menjadi sebuah simbol dari Keraton Yogyakarta. Orang-orang dari jauh rela berbondong-bondong hadir di acara ini. Baik itu dari Purworejo, Klaten bahkan Sragen termasuk saya.

Kedatangan saya ke sini hanya ingin menyaksikan keunikan upacara garebeg. Yang mana saya asli orang Yogya tapi tak pernah sekalipun melihat upacara garebeg. Kalau pun ke alun-alun hanya sekadar melihat Pasar Malam.

Tapi semenjak menikah lalu hijrah ke Sragen, rasa kangen akan ciri khas Yogya membuat ingin sekali datang di acara tersebut. Apalagi kekita berbincang dengan masyarakat luar Yogya justru ingin melihat acara garebeg. Mereka saja ingin datang, kenapa dulu saya bertahun-tahun tinggal di Yogya tidak memanfaatkan kesempatan itu. Malah keinginan itu datang setelah pindah ke Sragen. Apa-apa yang menjadi kekhasan Yogya menyeruak hadir dan ingin mengulang lagi masa-masa hidup di Yogya.





Pulang ke Yogya Tepat Acara Garebeg Mulud


Saya datang acara Garebeg Mulud di Yogya pada hari Jumat, 1 Desember tahun 2017. Kebetulan Jumat dan Sabtu libur membuat saya berinisiatif pulang ke Yogya. Pada hari Jumat sekitar pukul 09.00 berangkat dari Sragen. Tanpa ada perencanaan untuk hadir acara garebeg. Hanya saja beberapa hari sebelum itu saya punya keinginan datang ke acara tersebut.

Ketika tiba di Yogya tepatnya di daerah Prambanan, pikiran saya berubah. Tiba-tiba ingin sekali datang ke acara Garebeg. Langsung meminta suami antar ke Titik 0 Yogyakarta. Bagi saya kalau pun terlambat tidak mengapa, bisa mampir ke Pasar Malamnya.

Begitu tiba di depan Kantor Pos Besar sekitar pukul 11.00-an kami memarkirkan kendaraan. Istirahat sejenak untuk melepas lelah. Saya mengira bahwa kami sudah terlambat. Mencoba bertanya ke orang di sekitaran situ, “Mas, acara garebegnya sudah selesai?”
“Belum mulai kok, sebentar lagi ini,” jawabnya.


Cuaca mendung


Cuaca sudah mendung. Seakan sebentar lagi wilayah keraton dan sekitarnya bakal diguyur hujan. Sempat membatin, wah nanti kalo acara garebegnya hujan gimana.

Tak berapa lama ada petugas yang menyuruh warga untuk mengosongkan jalan. Dari arah keraton muncul iring-iringan yang diawali pawai rombongan gajah menuju ke timur. Kebetulan saya persis berada di pinggir jalan sehingga rombongan ini terlihat begitu jelas di depan mata. Tidak perlu berdesakan ketutupan orang. Alhamdulillah.







Kapan Pelaksanaan Garebeg?


Dalam satu tahun Keraton Yogyakarta mengadakan tiga kali upacara garebeg yakni Garebeg Sawal tanggal 1 Sawal (Idul Fitri), Garebeg Besar pada tanggal 10 Besar (Idul Adha) dan Garebeg Mulud tanggal 12 Mulud (Maulid Nabi). Dari ketiga garebeg ini, sebagian masyarakat lebih tertarik menyaksikan Garebeg Mulud. Mungkin dikarenakan saat Idul Fitri maupun Idul Adha masyarakat muslim sibuk dengan kegiatan keagamaan masing-masing di daerahnya.

Garebeg ini dilaksanakan pada tanggal 12 berdasarkan kalender Jawa (tepat pada hari lahirnya Nabi Muhammad). Acara berlangsung pada pukul 08.00-10.00. Kebetulan saya datang acara ini sekitar pukul 11.00 sehingga tidak menyaksikan upacara saat masih di lingkungan keraton. Gunungan ini dikawal oleh sepuluh macam bregada (kompi) prajurit keraton: Wirabraja, Dhaheng, Jagakarya, Patangpuluh, Prawiratama, Ketanggung, Nyutra, Mantrijero, Bugis dan Surakarsa.







Tujuan Sultan Mengeluarkan Gunungan


Setiap acara Garebeg, keraton selalu mengeluarkan gunungan. Tujuan dikeluarkan gunungan sebagai simbol sedekah Sultan kepada rakyatnya. Nantinya, gunungan ini dibagikan kepada masyarakat yang hadir. Gunungan terbuat dari beras ketan, makanan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Lalu diarak dibagikan kepada masyarakat. 


Ada tiga buah gunungan yang hendak dikirim yakni ke Masjid Gedhe, Kepatihan dan Pura Pakualam. Berhubung posisi saya ada di depan kantor Pos Besar sehingga tidak melihat gunungan yang dibawa ke Masjid Gedhe. Sebab gunungan yang keluar dari Pagelaran begitu sampai di alun-alun sebelum Ringin Kurung (di tengah alun-alun) belok ke kiri atau ke barat menuju Masjid Gedhe Kauman. Jadi hanya melihat dua rombongan yang membawa gunungan ke Pura Pakualaman dan Kepatihan.




Iring-ringan grebeg diawali rombongan gajah 


Rombongan Pembawa Gunungan Menuju Masjid Gedhe Kauman


Prosesi pertama, gunungan yang dibawa ada lima macam. Gunungan Kakung, Gunungan Estri, gunungan gepak, gunungan dharat dan gunungan pawuhan. Kesemuanya gunungan tersebut dikawal oleh Bregada Surakarsa kemudian didoakan oleh penghulu masjid. Lalu masyarakat diperkenankan mengambil bagian dari gunungan.


Rombongan Pembawa Gunungan Kakung ke Pura Pakualam


Prosesi kedua, Gunungan Kakung yang dibawa ke Pura Pakualam yang dikawal oleh Bregada Lombok Abang dan Bregada Plangkir. Bregada ini diluar dari sepuluh bregada yang ada di Keraton Yogyakarta. Usai keluar dari Pagelaran mereka berjalan lurus ke utara, sesampai di titik nol belok kanan atau ke timur menuju Pura Pakualam. Rombongan yang pertama kali yang muncul adalah gajah sekira empat ekor. Masing-masing mengenakan kain hijau dengan satu penumpang memakai baju kuning. Baru disusul seseorang yang menaiki kuda. Diikuti rombongan yang membawa tombak yang mengenakan pakaian merah. Diiringi suara musik sompretan.


Gunungan yang dibawa ke Pura Pakualam





Rombongan Pembawa Gunungan Kakung ke Kepatihan


Prosesi ketiga, rombongan yang membawa Gunungan Kakung menuju Kepatihan.  Proses ini dikawal oleh Bregada Bugis yang berjalan lurus untuk menuju Kepatihan yang berada di Jalan Malioboro. Paling depan diawali rombongan gajah lalu barisan yang memainkan alat musik tradisional. Ada pasukan yang memakai pakaian didominasi warna hitam. Gunungan digotong oleh narakarya atau tenaga angkut. Mereka mengenakan atasan merah, topi merah dan bawahan semacam sarung berwarna biru dongker motif bulat.

Setelah semua gunungan keluar dari Pagelaran delapan bregada yang berada di Alun-alun Utara pun kembali. Dengan dibagikannya gunungan kepada masyarakat menjadi tanda bahwa proses upacara garebeg telah selesai.


Gunungan untuk dibawa ke Kepatihan. 



Iring-iringan ini berlalu begitu cepat sekira 30 menit saja. Berhubung sudah mendekati waktu shalat jumat, saya dan Pak Suami menuju Masjid Gedhe Kauman. Kami berjalan dari depan Kantor Pos Besar melewati alun-alun yang sudah dipenuhi pedagang.


Mendekati area masjid, di kanan kiri sudah ada penjual telur yang cangkangnya diwarnai merah. Begitu sampai di halaman masjid, saya melihat ada beberapa orang yang masih memungut sisa-sisa bagian gunungan seperti kacang panjang. Agak terlambat saya sampai di sini, sehingga tidak menyaksikan secara langsung bagaimana kehebohan mereka saat berebut gunungan. 


 
Tampak warga masih sibuk memunguti sisa-sisa bagian dari gunungan


Masjid Gedhe Kauman dan Sekitarnya Diguyur Hujan


Usai iring-iringan gerebeg bubar, Masjid Gedhe Kauman dan sekitarnya diguyur hujan. Semakin siang semakin deras. Masjid ini akan digunakan shalat jumat, tapi bagian teras sudah diisi para pengunjung yang sedang berteduh. Akibatnya jamaah laki-laki yang akan shalat jumat kehabisan tempat. Saya memilih berdiri berada di halaman masjid. Kebetulan dipasang kajang di halaman masjid sehingga tidak kehujanan.

Sayangnya para pengunjung putri banyak yang tidak beranjak berdiri dengan memberi tempat para jamaah putra agar bisa shalat. Mereka tetap duduk di teras masjid demi bisa berteduh. Padahal bisa saja berteduh sambil berdiri kan ada kajang. Akibatnya ada jamaah putra tidak dapat tempat di masjid, mereka terpaksa shalat di sela-sela tempat penitipan sepatu yang letaknya terpisah dari bangunan masjid.

Jujur pemandangan ini membuat saya sedih. Ternyata banyak wanita yang tidak sadar dengan memberi kesempatan kaum pria untuk menunaikan shalat jumat yang hukumnya wajib. Toh mereka shalatnya hanya sebentar, jika sudah selesai juga bakal berkurang yang berada di masjid.


 
Kawasan Masjid Gedhe Kauman



Baju Awul-Awul Pasar Sekaten


Pasar Sekaten 



Usai shalat jumat selesai kami mengunjungi  Pasar Sekaten di Alun-alun Utara. Pedagang awul-awul  selalu ada dalam acara ini. Dulu saya merasa gengsi datang ke pedagang ini, masak mau beli baju second. Mending beli baju baru walau tanpa merk.

Tapi tak tahunya Pak Suami ternyata penggemar baju cakar alias cap karung, haha. Kata beliau tidak semuanya barang second, bisa jadi barang tak laku lalu dijual murah.

Semenjak menikah jadilah saya juga penggemar baju awul-awul. Dan benar ternyata banyak juga yang baju baru. Dilihat dari bau dan wujudnya tidak ada tanda bekas pakai bahkan ada juga yang masih ada banderol harga yang bertuliskan huruf Jepang. Baju awul-awul  yang saya miliki hanya jaket saja. Tersebab kebanyakan yang dijual pakaian wanita yang bukan selera saya.

Buat kalian yang mengunjungi Pasar Sekaten. Tidak ada salahnya mampir ke stand baju awul-awul. Jika jeli memilih, ada baju baru yang bagus dan berkualitas juga lho.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Testimoni Praktik JSR

Semenjak mengenal JSR yang digagas oleh Dokter Zaidul Akbar melalui media online. Saya mulai mempraktikkan ilmu tersebut. Semoga dalam mempraktikkan ilmu ini bukan karena “latah” sekadar ikut-ikutan karena ngetrend tapi memang memberikan dampak positif. Harapannya tetap istiqomah di jalan JSR. Praktik JSR Apa saja yang saya lakukan dalam praktik JSR? 1.    Ubah pola makan Pagi dan malam tidak makan nasi putih. Hanya makan buah dan sayur. Kalau misalkan lapar dan lemas, saya makan ubi jalar rebus. Pengganti karbohidrat yang lebih kaya serat dibandingkan nasi putih. Dari segi harga juga murah. Satu kilogram ubi jalar madu dihargai Rp 5000,-. Kalau bukan ubi madu satu kilogramnya hanya Rp 3.000,- cukup untuk dua hari. Untuk siang hari baru makan berat. Saya memang masih konsumsi nasi putih tapi hanya siang hari saja. Tapi diusahakan nasinya sedikit saja, tetap banyak sayurnya. 2. Bikin infused water Dalam sehari saya satu kali bikin infused water. Bu

Sarapan ala JSR

Semenjak mempraktekkan menu sarapan ala JSR, saya mulai membiasakan diri makan buah sayur pada pagi dan malam hari. Hanya siang hari saja makan nasi. Masih belum bisa meninggalkan nasi putih sih. Namanya berproses ya perlahan-lahan. Usahakan dalam sehari porsi buah dan sayur lebih banyak ketimbang nasinya. Ketika saya mempolakan demikian keluhan sembelit pelan-pelan berkurang. Kita ketahui harga buah dan sayur lebih mahal ketimbang beli gorengan atau makanan tak menyehatkan lainnya. Saya mulai siasati bagaimana agar tetap bisa makan buah tapi harganya murah. Kalau sarapan semangka, melon, nanas harus membeli utuh. Sementara jika sudah dibuka tidak bisa bertahan lama atau cepat basi. Setelah dipikir-pikir muncullah ide membeli pisang. Kalau beli satu lirang saja bisa bertahan beberapa hari karena setiap satu buah ada kulitnya sehingga bisa tahan tidak mudah basi. Beruntung saya menemukan pisang emas satu keranjang isi dua lirang hanya dihargai Rp 12000,- . Kalau pisang

Minuman ala JSR

Sudah sekitar enam bulan saya mempraktikkan resep JSR ala dokter Zaidul Akbar. Sebenarnya sudah sejak bulan puasa, hanya saja saat itu belum bisa mempraktikkan dengan serius ada banyak godaan. Salah satunya menu buka puasa di mushola yang belum sesuai resep JSR. Warga kami membiasakan berbuka puasa bersama di mushola, bukan perkara dapat makannya tapi rasa kebersamaan itu yang bikin nikmat dan hangat sesama jemaah. Mungkin ada bertanya apa itu JSR? JSR adalah Jurus Sehat Rasulullah. Pola hidup sehat seperti yang dituntunkan Rasulullah. Intinya kita mempolakan hidup sehat yang tujuannya agar semakin khusyuk beribadah dan dekat kepada Allah. Jadi JSR ini bukan untuk  lifestyle atau gaya-gayaan. Jika sudah menerapkan hidup sehat tapi ibadahnya tidak meningkat maka menurut dokter Zaidul itu percuma saja.  Infused water rimpang-rimpangan Mengetahui resep ini bermula sharing ilmu dari dokter Zaidul Akbar yang bersliweran di media sosial. Awalnya saya tidak ngeh