![]() |
Kopdar KBS di GOR Sragen |
Rasanya sudah cukup lama tidak
bersua dengan teman-teman Klub Buku Sragen (KBS). Mungkin sekitar satu tahun
lebih tak bertemu dengan mereka. Kesibukan masing-masing yang menyebabkan
sulitnya meluangkan waktu untuk bertemu.
Apalagi saat menjadi kontributor di
sebuah platform media online. Hari-hariku diisi untuk mengejar tulisan-tulisan
berita terkini. Sibuk nyari angle tulisan, mengejar jumlah PV dan
dolar. Namun, lama-lama aktivitas ini cukup membosankan.
Kini memilih menulis apa yang kusukai.
Membagikan pengalaman yang dirasakan kepada orang lain. Hati lebih tenang dan
tidak kemrungsung. Sebab ketenangan itu yang membuat energi tidak lekas habis
dan bosan.
Ahad, 20 Januari 2020 akhirnya bisa
bertemu teman-teman di halaman GOR Sragen. Ketika berjumpa dengan mereka, darah
mudahku mulai menggelora meski umur sudah tidak muda, hehe. Sengaja enggak
milih kata “tua” biar selalu memberikan efek positif.
Hobi Koleksi Buku
Perbincangan kami ngalor-ngidul tapi
memang enggak jauh-jauh dari dunia buku. Tapi, ada pula tentang pengalaman
teman yang suka nlusur traveling. Kami ngobrol sembari menunggu lapak
baca buku di bawah pohon rindang. Pengunjung GOR diberi kesempatan untuk
membaca buku gratis. Kegiatan ini dalam rangka menghidupkan dunia literasi.
Kami termasuk orang yang suka ngopeni
buku. Bagi kami buku adalah gudang ilmu. Tidak mudah menjual buku-buku yang
dimiliki ke tukang rosok. Tapi sayangnya, tak semua anggota keluarga memahami
demikian. Teman kami Aras bercerita, dia sering berpesan kepada ibunya untuk
tidak menjual buku-buku miliknya. Begitu juga dengan Mbak Akhir Dira, dia
sering khawatir ketika anggota keluarganya tiba-tiba menjual buku-buku yang ada
di rumah. Seringkali tidak dilihat dulu isi bukunya apa, langsung dijual.
Padahal bisa jadi itu buku penting bagi dirinya.
Aku pun sepemahaman dengan pendapat
Mbak Akhir Dira. Tak hanya buku, kertas pun kadang harus aku cek dulu isinya
apa. Sebab kertas itu bisa menjadi sumber tulisan. Sebagai contoh kalau piknik
ke tempat wisata sering mendapat tiket masuk. Nah, saat membuat review
traveling ke suatu tempat wisata agar informasinya lengkap harus dituliskan
berapa biaya masuk. Sementara, kadang aku lupa berapa biaya masuknya. Dengan
melihat tiket, terbantu saat menulis.
Setelah obrolan dirasa cukup, tiba-tiba
ada inisiatif dari teman yang mengajak ke tempat Bapak Mulyono, penjual buku
legendaris di Sragen. Sebagian besar pada mau. Sekira pukul 11.00 an kami
tancap gas menuju ke sana.
Ngobrolin Traveling
Bapak Mulyono ini, selain jualan
buku juga jualan hik di basecamp Kumpulan Wong Sragen (KWS). Kami mampir
ke basecamp KWS untuk mencari Pak Mulyono. Namun sayangnya, beliau
sedang di Solo. Katanya sekira jam 12.00 sudah pulang. Kami pada bingung mau ke
mana lagi. Ada usulan untuk datang university expo di gedung Sasana
Manggala Sukowati (SMS). Tapi aku kurang minat, karena tidak ada kepentingan
nyari kampus. Walau bisa juga sih sebagai bahan tulisan blog tentang event pameran
kampus di Sragen. Tapi jujur aku baru enggak ada gairah nulis tentang itu.
Daripada ngobrol ngalor-ngidul
di pinggir jalan, Teguh Giblix ngajak duduk di basecamp KWS. Lebih
jenak. Siapa tahu juga nanti Pak Mulyono datang. Kami berempat ada Aras, Mas
Yoto Teguh Pambudi, Teguh Giblix dan aku, duduk melingkar disuguhi segelas es
teh.
Perbincangan semakin asyik terlebih
mereka pada hobi traveling. Dan ternyata travelingnya cukup
ekstrim. Ternyata aku enggak ada apa-apanya dibanding mereka. Maklumlah, aku
kan perempuan.
Menariknya lagi, kami berempat
tidak ada yang asli Sragen. Aras Asli Purwodadi, Mas Yoto Teguh asli Boyolali,
Teguh Giblix asli Wonogiri sedangkan aku sendiri asli Sleman, Yogya. Berarti
kami semua Sragen KW, hehe.
Kembali ke dunia traveling.
Mas Yoto Teguh ternyata punya pengalaman petualangan ekstrim sekitar 16 tahun
silam. Ia pernah jalan kaki dari Sragen ke Surabaya. Memakan waktu beberapa
hari. Yang ini aku agak lupa sepertinya tiga hari. Saat jalan kaki, nemu uang
receh dan dikumpulin buat uang saku. Untuk pulangnya, kalau ada truk lewat dan
arahnya sama, numpang naik truk.
Beda lagi dengan ceritanya Teguh
Giblix. Dia pernah mendaki gunung Merbabu satu hari satu malam sendirian.
Awalnya bersama rombongan, tapi dia memilih di belakang. Menikmati pendakian
dengan kesendirian. Katanya kalau ada teman terkadang merasa risih, enggak enak
kalau dirinya harus berlama-lama.
![]() |
Ngobrol di basecamp KWS |
Ada juga cerita temannya Teguh Giblix
yang memiliki hobi traveling sangat ekstrim. Sesekali dia nampak
bekerja, tapi tiba-tiba menghilang dalam sebulan untuk berpetualang menggunakan
sepeda onthel. Uang dari bekerja digunakan untuk petualangan. Jika dalam
perjalanannya kehabisan uang, dia bisa nyambi kerja serabutan seperti jadi
tukang cuci piring di warung makan.
Untuk mempertahankan hidup di tempat
pelosok atau di hutan, dia makan apa saja yang ada di sana seperti berburu
hewan. Kebetulan Teguh Giblix menunjukkan foto orangnya. Berambut gondrong,
bertelanjang dada sedang memegangi sebuah hewan buruan.
Menariknya, petualangan dia itu
tidak dipublikasikan biar dikenal sebagai traveler. Dia menikmati travelingnya
dalam kesendirian. Baru diketahui khalayak sebagai traveler sejati
karena diberitahu oleh orang lain. Tentu petualangan ekstrim ini tidak
mungkin dilakukan bagi orang yang sudah berkeluarga karena bakal dicari anak
dan istri.
Susur Buku di Tempat Pak Mulyono
Sekira pukul 12.00 lebih, tiba-tiba
Pak Mulyono muncul. Beliau sudah pulang dari Solo. Pertama kalinya aku bertemu
dengan beliau. Kami berbincang sebentar, lalu menyampaikan maksud untuk melihat-lihat
koleksi buku Pak Mulyono.
Lokasi tempat penyimpanan buku ada
di daerah belakang hiks KWS. Tapi kalau bawa sepeda motor, harus memutar lewat
rel sepur. Tepat kiri jalan ada gapura Teguh Jajar, masuk ikuti jalan terus.
Sebelum jembatan belok kiri. Melewati jalan rerumputan agak jauh sampai tiba di
sebuah rumah sederhana berdinding kayu. Di sinilah gudang buku-buku lama milik
Pak Mulyono. Mengenai cerita perjalanan Pak Mulyono jualan buku di Sragen bisa
klik di sini.
![]() |
Rumah tempat penyimpanan buku milik Pak Mulyono |
Tampak buku berserakan. Ada yang
masih dibendel tali, ada juga yang sudah dibuka. Kita bebas memilih sesuai
selera. Harganya pun murah. Aku beli 7 buah buku terdiri tiga buah buku
hardcover hanya dihargai 60.000.
Pertemuan kali ini diakhiri dengan
belanja buku. Aras, Mas Yoto Teguh, Teguh Giblix, Mbak Anik dan aku memborong
buku milik Pak Mulyono. Tepat waktu ashar, kami pulang dengan membawa oleh-oleh
berupa buku-buku lama.
Aku termasuk enggak hobi belanja
pakaian, tas, sepatu kecuali kalau memang butuh. Setahun sekali aja belum tentu
beli. Tapi, kalau belanja buku bisa “kalap.” Makanya sering diprotes suami
kalau belanja buku tapi enggak dibaca.
Itu tadi sekelumit obrolan bersama
teman-teman Klub Buku Sragen (KBS). Semoga lain waktu bisa berjumpa lagi.
Komentar
Posting Komentar