Mulanya
aku dan suami hanya rencana jalan-jalan naik sepeda motor dekat rumah. Kami
biasa menyebut “pit-pitan,” mau review sebuah masjid megah di sebuah kota
kecamatan di Sragen. Tapi begitu sampai di sana, ternyata pembangunannya belum
selesai. Agak sedikit kecewa tapi tak mengapa, kita tetap lanjut jalan-jalan.
Suami
terus menyusuri jalan Sragen-Tangen. Tanpa tujuan. Pokoknya pit-pitan aja.
Hingga menemui sebuah pathok bertuliskan, “Kuwu 17 km” maksudnya untuk mencapai
daerah Kuwu tinggal 17 km lagi.
Pak suami
bilang, “Kalau mau ke Kuwu 17 km lagi.” Mendengar kata “Kuwu” ingatanku
langsung kembali pada masa SD yang pernah piknik ke Bledug Kuwu dan Api Abadi Mrapen.
Walau
sudah pernah ke sana puluhan tahun silam, tetap ingin melihat Bledug Kuwu lagi.
Mungkin keadaannya sudah berbeda. Sebagai bahan dokumentasi juga, secara dulu
belum begitu ngehits perkara dokumentasi piknik.
“Mas,
gimana kalau ke Bledug Kuwu sekalian?”
“Iya,
nggak apa-apa.”
Untung Pak
suami mau. Mungkin baginya tinggal menempuh belasan kilometer jadi tidak
masalah.
Perjalanan Menuju Bledug Kuwu
Perbukitan Hutan Jati
Kami
melewati jalan Sragen-Tangen, Tangen Galeh dan Galeh-Kuwu. Dalam perjalanan
kami disuguhi dengan pemandangan menarik yakni hutan pohon jati. Di kanan-kiri
jalan terdapat pepohonan dan rumput liar. Saat melewati hutan, jalanan sempat
sepi tak ada satu pun kendaraan yang lewat.
Saat itu ada sedikit rasa takut. Beruntung pada siang hari dan hanya
sebentar perjalanan tanpa ada kendaraan lain yang melintas. Aku sempat
terpikir, gimana jika saat lewat malam hari, pastinya cukup horor.
Jalan Bergelombang
Kami melewati bukit yang jalannya
naik turun dan bergelombang. Ada sebuah jalan yang mana bagian pinggir sisi
kanan dan kiri aspal menurun. Sementara bagian tengah jalan meninggi, bentuknya seperti
gunung. Kalau ban kendaraan tidak merekat dengan baik ke aspal bisa-bisa
meleset ke bawah bahkan masuk jurang. Terutama jika jalannya licin, harus lebih
berhati-hati.
Rumah Joglo Berdinding Papan Kayu
Sebagian
besar rumah di daerah ini berbentuk joglo berdindingkan papan kayu. Dengan
lantai beralaskan tanah. Tampak beberapa rumah sedikit lebih bagus. Jendela
dari kaca dengan hiasan lukisan berwarna. Kayu untuk dinding rumahnya pun
terlihat lebih baru. Ada juga yang sudah berdinding tembok tapi jumlahnya
sangat sedikit. Dilihat dari penghuni daerah sini cukup sedikit, nampaknya
banyak yang merantau. Pertumbuhan ekonominya kurang berkembang dengan cepat.
Sempat
penasaran mengapa mereka memilih dinding papan ketimbang dari tembok. Kalau
kata Pak suami bilang kemungkinan karena tanahnya mudah bergerak. Jika mau
didirikan bangunan dari tembok harus benar-benar kuat. Jika tidak, bisa rubuh.
Maka mereka memilih papan karena dinilai lebih aman. Entah jawaban ini benar
atau tidak karena tidak sempat bertanya ke mereka.
Sempat
juga menanyakan hal ini ke salah satu warga di kawasan Bledug Kuwu. Jawabannya tidak
tahu. Ah ternyata aku yang salah bertanya. Sebab rumah di sekitaran Bledug Kuwu
sudah berdinding tembok.
Kondisi Tanah yang Kering
Kondisi
tanah di daerah sini cenderung kering kurang air. Dapat dilihat dengan
pepohonan banyak yang meranggas meski saat ini sudah turun hujan. Dibandingkan
daerah lain, pepohonan sudah mulai tumbuh subur, daun-daunnya menghijau. Bisa
jadi wilayah ini belum sering diguyur hujan. Daerah ini pula kerap mengalami
kekurangan air sehingga butuh bantuan air dari luar.
Pak suami
juga sempat bilang, saat beberapa tahun lalu lewat ke sini dan sekarang kembali
lagi. Tak ada perubahan kemajuan yang siginifikan. Masih seperti itu-itu saja.
Ini menandakan bahwa daerah ini kurang makmur. Tanda kemakmuran sebuah daerah
dengan adanya air. Aku jadi teringat pelajaran sejarah dahulu, sebuah pusat
peradaban biasanya dimulai dari daerah pinggir sungai. Tersebab kebutuhan akan
air untuk kehidupan sangatlah penting.
Kalau mau
bekerja sebagai petani atau peternak jika kesulitan air juga bikin susah. Mau
mengairi sawah dengan apa, mau memberi minum ternak dengan apa jika tak ada
air. Kalau hanya mengandalkan bantuan dari luar, itu hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan manusianya saja, seperti minum dan MCK. Sementara untuk kebutuhan
pemeliharaan sawah dan hewan ternak harus diupayakan sendiri. Buat kebutuhan
sendiri saja masih kurang apalagi untuk yang lain.
Tampaknya
daerah ini banyak dihuni oleh orang yang sudah tua. Para pemuda dan pemudinya
jika sudah beranjak dewasa lebih memilih merantau untuk mendapatkan sebongkah
berlian, eit kayak Bang Toyib aja, hehe.
Bledug Kuwu
Mengenal Bledug Kuwu
Akhirnya setelah puluhan tahun silam
kakiku menginjakkan kembali di Bledug Kuwu. Suasananya tampak tidak jauh
berbeda dengan saat pertama kali ke sini. Hanya penambahan sedikit yakni gardu
pandang.
Dari jauh sudah tampak semburan
lumpur dari dalam bumi. Setiap menit lumpur itu meletup sepanjang waktu. Bledug
Kuwu ini sudah ada ribuan tahun silam. Pernah membayangkan tidak, jika hal itu
digerakkan oleh produk buatan manusia pastinya butuh istirahat. Sebagai contoh
saat menghidupkan sebuah mesin, tidak mungkin alat itu akan hidup terus
bertahun-tahun tanpa berhenti. Itulah kuasa Allah yang bisa menciptakan
keindahan alam tanpa harus dikomandoi setiap saat.
Bledug Kuwu diyakini merupakan
semburan yang terjadi alamiah. Sejarah Bledug Kuwu ini seringkali dikaitkan
dengan sebuah legenda yang disitu ada fakta bercampur mitos. Tapi di sini aku
tidak akan menguraikan legenda itu, silakan kalian bisa cari sendiri.
Bledug Kuwu terletak di Desa Kuwu,
Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Lokasi ini berjarak sekira
30 kilometer ke arah timur Kota Purwodadi. Berada persis di tepi jalan raya
Purwodadi-Kradenan-Gabus. Di bagian depan memanjang warung penjual makanan dan
minuman. Mulai dari es dawet, air kelapa muda, pop mie dan lain sebagainya. Area
parkir mobil cukup luas. Jika mengendarai sepeda motor, nanti akan diarahkan
sama petugas parkir untuk masuk ke dalam.
Biaya Masuk Bledug Kuwu
Di pintu masuk terdapat loket
pembelian tiket. Biaya masuk cukup murah hanya Rp 3000,- per orang. Untuk biaya
parkir sepeda motor juga sama Rp 3.000,-. Di seputaran area Bledug Kuwu sama
sekali tidak ada pohon. Kebetulan aku datang ke sana saat siang hari, usai
shalat dhuhur. Cuaca cukup panas, mau tak mau harus pakai payung. Untuk sewa
satu payung ukuran besar Rp 5.000,-.
Yang Menarik dari Bledug Kuwu
Dari kejauhan sudah tampak sebuah
letupan-letupan lumpur dari dalam bumi. Hanya karena berada di luar sehingga
suaranya belum terdengar. Begitu melewati pintu masuk, di depan tampak
bongkahan-bongkahan tanah lumpur yang telah digali. Beberapa yang sudah kering
mirip semen. Sepertinya akan didirikan bangunan karena di sisi kanan kirinya
ditanam besi untuk mengecor bangunan. Ada empat gasebo tua yang sudah miring ke
kiri atau ke kanan akibat tanah yang bergerak seperti mau rubuh.
Kami terus berjalan mendekati
letusan Bledug Kuwu. Di sana ada tiga penjual yang posisinya paling dekat
dengan Bledug. Ini sebagai tanda bahwa pengunjung maksimal hanya boleh sampai
pada titik di sekitar penjual tersebut. Selebihnya kita tidak boleh mendekat.
Tersebab kondisi lumpurnya basah.
Suara Bledug terdengar cukup keras,
“bleduk..bleduk duar..duar.” Pernah saat itu lagi asyik selfie letupannya cukup keras
membuat aku kaget dan ingin berlari menyelamatkan diri. Takutnya letupan itu
semakin besar dan mengancam jiwa. Maklum, dulu aku pernah merasakan efek dari
letusan gunung Merapi di Yogyakarta. Suara gemuruh dari dalam gunung Merapi,
diikuti gempa lalu hujan pasir dan abu. Suasana cukup mencekam saat itu.
Mendengar letusan besar menjadi trauma tersendiri bagiku.
![]() |
Dari kejauhan tampak Letupan Bledug Kuwu |
Bledug ini berbentuk lingkaran besar
berlapis-lapis yang di tengahnya terdapat letupan. Sebenarnya letupan itu
muncul tak hanya di dalam lingkaran itu. Bahkan di luar di dekat penjual garam
juga ada letupan. Hanya ukurannya kecil dan saat itu tidak muncul. Kata mbak
penjual, kalau musim hujan letupan semakin banyak karena kondisi tanahnya
basah. Sehingga banyak area yang tidak
boleh didekati karena cukup beresiko. Si mbak mewanti-wanti untuk berhati-hati
saat berjalan. Pilihlah tanah yang kering.
Aku kira lumpur letupan itu panas.
Ternyata tidak. Menurut keterangan mbak penjual, tanah itu tetap dingin hanya
jika kita menginjak resikonya bisa terperosok ke dalam. Kalau seseorang sudah
terperosok masuk ke dalam lumpur, harus segera ditarik ke atas. Jika terlambat,
perlahan-lahan badannya merosot ke dalam lumpur. Ada yang sampai setengah badan
masuk ke dalam lumpur. Hmm... ngeri juga ya.
Hal yang menarik dari Bledug Kuwu
adalah sebuah fenomena alam. Letupan lumpur tidak akan muncul di semua daerah.
Inilah yang menjadi ciri khas dari Bledug Kuwu yang tidak bakal ditiru sama
daerah lain. Kita ketahui saat ini banyak lokasi wisata ngehits, instagrammable
tapi sayangnya mudah ditiru daerah lain. Fenomena alam sebuah daerah hendaknya
untuk terus dipelihara agar selalu menjadi destinasi wisata menarik di tengah
gempuran bermunculan tempat wisata bagus nan modern.
Bledug Kuwu Mirip Lumpur Lapindo
Fenomena Bledug Kuwu ini mirip
dengan kejadian Lapindo Brantas yang ada di Porong Sidoarjo. Lumpur terus melakukan aktivitas menyemburkan ke
atas tanpa henti. Bedanya untuk Lumpur Lapindo, fenomena ini muncul akibat dari
pengeboran sumur minyak atau gas. Sementara Bledug Kuwu muncul secara alamiah
dari dalam bumi. Selain itu, area lumpur Bledug Kuwu tidak terus meluas yang
mengakibatkan wilayah di sekitarnya tenggelam. Tidak memberikan efek buruk bagi
masyarakat setempat justru dapat mendatangkan rezeki.
Gardu Pandang
Saat ini sudah ada dua gardu pandang
di lokasi ini. Yang satu ada di sisi kiri pintu masuk. Tiga lantai berpagar
kayu. Tapi kondisinya sudah tua. Sementara yang satunya lagi agak jauh
tempatnya. Dari pintu masuk ke kanan terus, sudah nampak gardu pandang
berlantai empat. Bangunan ini belum sepenuhnya jadi. Lantainya masih kasar,
belum dicat juga. Kalian bisa melihat pemandangan nan indah dari atas di gardu
pandang ini. Asyik kan.
Spot Selfie
Di era digital ini banyak orang yang
melakukan selfie untuk eksistensi diri.
Begitu juga saat berkunjung ke salah satu tempat wisata. Mereka mencari
tempat selfie sebagai tanda bahwa dirinya pernah ke sana. Salah satu spot
selfie yang cocok adalah papan bertuliskan “Bledug Kuwu Jawa Tengah” yang
lokasi ada di pagar luar. Bukan papan bledug kuwu yang ada di depan pintu masuk
lho. Itu mah warnanya sudah pudar. Dari pintu masuk ke luar lalu belok kiri,
jalan sedikit nanti sudah ada papan tulisan itu. Namun, sayangnya saat aku ke
situ ada pasir untuk renovasi tempat tersebut.
Bledug Kuwu Membawa Berkah Petani Garam
Teringat
saat pertama kali ke sini banyak penjual garam dan air yang mengandung belerang
dikemas dalam botol. Air tampak tak jernih, aku pikir air tersebut untuk
diminum. Masak untuk diminum kok “buthek.” Nah, kemarin itu aku coba tanya ke
penjual. Ternyata air itu bukan untuk diminum tapi dioles.
Dulu di
sebelah kiri pintu masuk ada berjejer bilah bambu terbelah di tata di atas
sebuah papan. Di sana adalah tempat pembuatan garam. Namun, saat kemarin ke
sana sudah tidak ada area untuk bikin garam.
Proses
pembuatan garam cukup panjang. Mulai dari membuat parit-parit untuk mengalirkan
air ke sebuah kolam. Air dibiarkan berkumpul dan diendapkan beberapa hari. Lalu
air tadi diambil menggunakan gayung dari “bathok” atau tempurung kelapa untuk
dimasukkan ke klalah (batang bambu yang dibelah menjadi dua). Air di
dalam klakah tadi dijemur di bawah terik matahari sampai menghasilkan
kristal garam berwarna putih.
Saat
menjemur jika musim kemarau membutuhkan waktu sekira empat sampai sepuluh hari.
Tapi saat musim penghujan bisa sampai tiga pekan. Air garam yang sudah mengkristal
diambil lalu dicuci. Tahap pencucian dengan air garam yang memiliki kadar
keasinan yang tinggi. Lalu kristal garam dimasukkan ke wadah anyaman bambu. Di
sini garam dibiarkan hingga tidak ada air yang menetes.
Proses
pembuatan garam cukup lama, tapi harga jualnya tergolong rendah. Ukuran satu
kilogram saja hanya dihargai Rp 10.000,-. Sayangnya generasi penerus yang mau
menekuni profesi sebagai petani garam semakin berkurang, mungkin karena kurang
menjanjikan. Tapi produk garam dari Bledug Kuwu merupakan ciri khas tempat
wisata ini. Jangan sampai lenyap karena tidak ada yang meneruskan. Semoga
pemerintah memperhatikan nasib para petani garam di Bledug Kuwu.
Biaya Piknik ke Bledug Kuwu Bikin Ramah di Kantong
Di atas
tadi sudah dijelaskan berapa biaya masuk ke Bledug Kuwu. Hanya cukup membayar
Rp 3.000,- kita sudah bisa melihat fenomena alam yang menakjubkan. Coba
bayangkan saat ini sudah jarang biaya masuk ke sebuah tempat wisata hanya
segitu. Kalau pun mau sewa payung dan beli garam harganya juga murah. Sewa
payung ukuran besar saja hanya Rp 5.000,- sementara harga garam ukuran kecil
dibanderol Rp 5.000,-, ukuran satu kilogram 10,000. Botol air untuk pengobatan
juga rata-rata hanya dijual Rp 10.000,-. Wow sangat murah bukan dan ramah di
kantong. Bagi kalian yang minim budget tapi pengen piknik, Bledug Kuwu adalah
pilihan yang tepat.
Komentar
Posting Komentar