Mendengar
kata Pangandaran yang terbersit dalam pikiran saya adalah sebuah pantai yang
cukup terkenal di Indonesia. Menjadi sebuah “ikon” di daerah tersebut. Bukan
lagi pantai baru yang marak dibuka akhir-akhir ini.
Pantai ini
terletak di Kabupaten Pangandaran yang merupakan pemekaran dari Kabupaten
Ciamis. Ibukotanya ada di Parigi. Daerah Ciamis dimekarkan menjadi tiga
kabupaten. Bahasa yang digunakan masyarakat Pangandaran adalah Bahasa Jawa
halus, Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Tipikal orang Ciamis memiliki jiwa
perantau. Masing ingatkah zaman dulu pedagang “mendring?.” Mereka keliling
menjajakan minyak goreng dengan cara dicicil.
Piknik kali
ini kami mengunjungi tiga lokasi di Pangandaran yakni Pantai Batu Karas, Green
Canyon dan Pantai Pangandaran. Semua bertemakan air. Dengan biaya 325.000 yang
dikelola sebuah biro. Jadi tidak mikirin konsumsinya nanti gimana, tinggal gass
saja, hehe.
Perjalanan dari
Sragen pada Sabtu 5 oktober 2019 pukul 20.00 WIB. Beberapa kali bus berhenti
untuk memberi kesempatan penumpang yang akan buang air.
Waktu subuh,
bus berhenti di sebuah masjid di Cilacap. Saya pikir sudah mau sampai tujuan
karena ada pohon kelapa yang menandakan daerah pesisir. Ternyata tebakan saya
salah. Kami harus menikmati perjalanan lagi sekira dua jam. Melewati bukit
berkelok-kelok yang cukup panjang.
Tiba di
sebuah gapura bertuliskan “Pantai Pangandaran.” Tapi bus kami belok kanan
menuju Pantai Batu Karas. Terdapat ruko berjejer-jejer yang sedang dibangun.
Ini seakan menandakan sebuah kota yang berada di pesisir pantai. Berbeda dengan
beberapa pantai lain yang posisinya bukan di pusat kota.
![]() |
Warga Bangun Asri Rt 16 |
1.Pantai Batu Karas
Sekitar
pukul 07.00 WIB tiba di Pantai Batu Karas. Sesampai di sana kami langsung
menuju sebuah “Restoran Sederhana.” Berhubung masih menunggu disiapkan menu
makanan, saya ambil kesempatan untuk memfoto tulisan “Batu Karas” sebagai
penanda sudah pernah ke sini.
Menu sarapan
ini cukup memuaskan untuk lauknya seekor ayam goreng, tempe mendoan, tahu
goreng, ikan goreng dipotong kecil-kecil, sayur soup, kerupuk, sambal, buah
jeruk, teh hangat dan air mineral. Dari segi rasa juga lumayan. Sssttt...
jangan nanya apakah saya hanya makan buah dan minum air putih karena sudah
praktek menu JSR? Gapapalah hari ini “cheating” kan ga tiap hari, hehe.
Setelah
sarapan para peserta dibebaskan untuk menikmati pemandangan pantai. Saya duduk
di sebuah tikar bersama teman-teman yang lain. Tak berapa lama saya memilih
beranjak mendekati bibir pantai. Tampak pantai sudah ramai dengan pengunjung.
Ciri Khas Pantai
Batu Karas
Salah satu ciri khas dari pantai
ini adalah permainan selancar. Banyak anak muda bahkan turis asing menyempatkan
bermain selancar. Posisi pantai berada di teluk diapit oleh dua karang menjadikan
ombaknya tidak terlalu besar dan berirama.
![]() |
Seorang turis usai berselancar |
![]() |
Persiapan naik banana boat |
![]() |
Naik banana boat |
Tampak papan-papan selancar
disewakan. Ada juga yang buat untuk anak-anak. Selain itu fasilitas naik banana boat.
Untuk sekali main dikenai biaya 300.000 untuk tujuh orang. Peserta dipinjami
pelampung. Ada juga speed boat. Pantai ini memang asyik untuk bermain. Lebih
digemari kalangan anak muda.
Di sebelah kanan pantai terdapat
batu karang. Terdapat spanduk peraturan waktu berenang pukul 06.00-17.00 WIB. Jenis
pasir di sini berwarna abu-abu. Setelah dirasa cukup sekitar pukul 09.00 kami
meninggalkan lokasi menuju Green Canyon.
2.Green Canyon atau Cukang Taneuh
Ketika biro perjalanan menyampaikan tujuan wisata berikutnya adalah
“Green Canyon.” Pikiran saya langsung melayang pada sebuah tempat wisata bernama
“Grand Canyon of Colorado” yang terletak di negara Amerika Serikat. Memang saya
belum pernah ke sana. Tapi pernah melihat tayangan TV yang menampilkan
keindahan tempat wisata tersebut.
Wah jangan-jangan keindahannya mirip dengan “Grand Canyon of Colorado?”,
batin saya. Ternyata penulisannya beda yang satu “green” yang satunya “grand.”
Maklum pendengaran saya kurang pas saat mendengar penjelasan dari pihak biro sehingga
keliru, hehe.
Sepanjang perjalanan sesekali menemui tanaman mirip pohon salak tapi
batang, daunnya besar-besar dan tidak memiliki buah. Beberapa batang pohon
sudah dipotong. Sepertinya tanaman ini sengaja ditanam entah untuk diambil
batang atau daunnya.
Ciri khas
Green Canyon
Di Green Canyon atau Cukang Taneuh merupakan satu-satunya tempat wisata
yang mengharuskan pengunjung naik perahu. Sebenarnya tidak masalah jika tak
naik naik perahu, hanya saja kita tidak akan mendapatkan pengalaman apa-apa.
Hanya melihat sungai berwarna hijau yang dipinggirnya berjejer perahu-perahu
biru. Memang tempat wisata ini tujuannya untuk susur sungai dengan naik perahu
yang menjadi ciri khas dari Green Canyon. Jadi jika ke sini tidak menggunakan
jasa biro, sebaiknya siapkan uang lebih agar dapat naik perahu.
Kami menyusuri Sungai Cijulang. Sungai ini bernama hijau. Mungkin ini
menjadi salah satu sebab dinamai “green.” Berhubung kami ikut biro jadi sudah
termasuk biaya dalam paket, tinggal naik perahu saja.
Setiap perahu hanya boleh diisi enam penumpang dan dua orang yang
mengendalikan perahu. Setiap penumpang harus antri satu persatu untuk diatur
petugas saat naik perahu.
Pelan-pelan perahu berjalan menyusuri sungai. Sungai ini cukup tenang,
tidak berarus deras sehingga membuat kami nyaman. Hanya saja sempat terbersit
jika air tenang menjadi tempat tinggal buaya. Saya pun bertanya kepada petugas
perahu. Kata mereka di dalam air paling hanya ada ikan sama biawak. Penjelasan
ini membuat hati tenang. Tidak takut saat memasukkan tangan ke dalam air.
Pemandangan begitu indah. Di kanan kiri sungai dikelilingi pohon-pohon.
Jadi tidak terasa panas. Perjalanan cukup jauh juga hingga tiba di sebuah gua.
Tetesan-tetesan dari atas gua membasahi bebatuan. Suasana semakin gelap. Di
sini merupakan ujung dari perjalanan menyusuri sungai. Jika penumpang ingin ke
atas berenang dikenai biaya tambahan 100.000 per perahu. Tapi berhubung kami
tidak niat basah-basahan di Green Canyon jadinya tidak berenang. Sebab nanti
masih ada tujuan wisata pantai lagi.
Perahu mengubah arahnya untuk kembali. Saat keluar dari gua, di sebelah
kanan tiba-tiba ada seekor biawak berdiam diri di atas sebuah batu. Benar juga
kata mas petugas perahu kalau di sini ada
biawak.
![]() |
Sampai di ujung sungai |
![]() |
Tetesan air dari langit-langit gua |
![]() |
Seekor biawak berdiam di atas batu |
Perjalanan pulang kami masih menikmati indahnya suasana. Meski di pinggir
sungai ada pepohonan, sebagian ada pemukiman penduduk.
![]() |
Di pinggir sungai ada pemukiman penduduk |
Tibalah kami ke tempat semula. Rasa puas sudah menyusuri sungai dengan
perahu. Bagi yang ingin ke Green Canyon berikut daftar biayanya:
Paket biasa (tanpa renang), waktu 45 menit Rp 200.000,-/perahu
Paket renang, waktu + 30 menit di Batu Payung Rp 300.000,-/perahu
Paket renang waktu + 1 jam di Pemandian Putri Rp 400.000,-/perahu.
![]() |
Daftar biaya |
Lokasi parkir ada di seberang jalan. Di sekitar parkiran banyak penjual
oleh-oleh, souvenir dan rumah makan. Silakan bisa mampir ke sana.
![]() |
Parkiran kendaraan |
3.Pantai
Pangandaran
Tibalah saatnya tempat wisata yang ditunggu-tunggu yang menjadi “gong”
piknik kali ini. Pantai Pangandaran dibagi menjadi dua, pantai barat dan pantai
timur. Kami hanya mengunjungi pantai barat saja.
Bus melewati pintu masuk dan terus melaju cukup jauh hingga di parkiran
paling ujung dekat dengan batu karang. Di sisi kanan adalah pantai, sementara
di sisi kiri bangunan berupa hotel-hotel bertingkat, ruko-ruko dan pasar.
Awalnya saya mengira Pantai Pangandaran juga seperti pantai pada umumnya.
Seputaran di pantai Yogya yakni Bantul dan Gunung Kidul sudah sering saya
kunjungi. Bahkan dulu hampir tiap tahun liburan lebaran selalu ditutup
makan-makan ke pantai.
Tapi meski sudah biasa lihat pantai. Kali ini saya takjub. Lantaran di
sekitar pantai berdiri bangunan yang lumayan megah. Rata-rata hotel berlantai
dua atau tiga.
Saya menganggap Pantai Pangandaran adalah pantai modern. Pusat kota ada
di pesisir pantai sehingga jantung perekonomiannya ada di sini. Nampak
keramaian orang dengan beragam aktivitas.
Berbeda dengan pantai di Yogyakarta yang mana pesisir bukanlah pusat kota.
Pesisir pantai dengan pusat kota Bantul, Yogya berjarak sekira 15 km. Jadi
denyut nadi perekonomian bukan di pesisir. Daerah pesisir hanya sebagai tempat
wisata saja.
Pantas saja banyak orang yang ingin berkunjung ke Pantai Pangandaran
bukan hanya untuk menikmati desiran ombak pantai. Tapi juga juga aktivitas lain
yang dapat menunjang perekonomian. Disuguhi fasilitas seperti pasar, ruko-ruko
modern, perumahan dan lain sebagainya.
Ciri Khas Pantai Pangandaran
Pantai Pangandaran berada di pantai lepas, ombaknya cukup besar. Di bibir
pantai berjejer perahu-perahu biru yang siap disewakan. Terdapat hutan lindung
dan gua Jepang. Di dalam hutan ada banyak monyet. Di bagian tempat wisata Pasir
Putih airnya bening cocok untuk menyelam.
Tiba di parkir bus pukul 13.00 WIB. Kami diberi waktu hingga pukul 15.00
untuk mengelilingi pantai. Setelah turun dari bus, saya langsung menuju masjid
untuk shalat dhuhur sekaligus menjamak shalat ashar.
Sekira pukul 13.00 selesai shalat kami menuju pantai. Sebelumnya saat di
dalam bus kami sudah diberitahu oleh pihak biro, kalau mau naik perahu
sebaiknya lewat biro saja karena biaya lebih murah. Biasanya dikenai biaya 30
ribu sampai 40 ribu. Tapi jika lewat biro bisa hanya 25 ribu per orang.
Waktu itu kami belum bisa memastikan apakah naik perahu atau tidak. Jadi
tidak ada satupun yang mendaftar ke biro. Begitu kami berkumpul di bibir
pantai, bapak-bapak jasa naik perahu satu persatu mendekati. Menawari naik
perahu hanya 15.000 sampai pasir putih. Setelah itu berjalan menikmati hutan
lindung balik lewat pintu keluar di dekat sini. Kalau mau diantar pulang
biayanya 20.000. Tapi janjian dulu kira-kira bisa ditunggu atau ninggalin nomor
WA.
Mendengar kata 15.000 saya langsung berpikir ini jauh lebih murah
ketimbang yang ditawarkan biro yang katanya 25.000. Ah tanpa pikir panjang kami
ambil tawaran itu.
Setiap perahu hanya boleh diisi maksimal 10 orang ditambah 1 orang bapak
pengendara perahu. Tanpa ba bi bu kami langsung naik perahu. Lalu mengenakan
pelampung. Bapak yang mengendarai perahu menjelaskan seputaran hal-hal yang dilewati.
Tiba pada sebuah kapal yang terguling. Ini merupakan kapal asing yang
mencuri ikan di wilayah Indonesia. Oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
kapal tersebut digulingkan untuk memberi efek jera.
Bangkai kapal dibiarkan berada di bibir pantai sebagai bukti atas
peristiwa tersebut. Justru keberadaan kapal ini menjadi pemandangan menarik
wisawatan.
Di dekat kapal ada lokasi wisata Pasir Putih. Ini pertanda bahwa kita
sudah selesai naik perahu. “Wah kok cepet banget,” batin saya. Bapak tadi
menawari untuk lanjut ke tempat wisata berikutnya. Kata dia di sana ada tiga
tempat wisata yang masing-masing dikenai biaya 10.000.
![]() |
Kapal asing yang digulingkan Ibu Susi Pudjiastuti |
Kami menawar 25.000 ribu sampai sana. Tersebab kata pihak biro bisa
25.000 jadi tinggal nambah 10.000 per orang. Bapaknya alot. Dia menyarankan
untuk masalah harga ngikut sama perahu yang ada di depan. Kami keberatan. Sempat
“eyel-eyelan.” Kami kekeuh 25.000 tapi si Bapak ga mau.
Kami ngasih opsi terakhir 30.000. Jika tidak mau, minta balik saja.
Awalnya Si Bapak masih kekeuh. Tapi kami membujuk royokan. Akhirnya Si
Bapak mau, hehe.
Kejadian ini bisa jadi pengalaman, jika piknik menggunakan biro sebaiknya
saat naik perahu mendaftar ke petugas biro saja agar dapat harga murah. Kalau langsung
dari pihak jasa perahu bisa “dithuthuk” harganya. Biasa mereka mencari
kesempatan para wisatawan yang belum tahu menahu tempat tersebut.
Saat naik perahu saya mengira semakin ke tengah pantai ombak semakin
tenang. Tapi ternyata tidak. Justru gelombang ombak semakin besar.
Si Bapak terus menjelaskan satu persatu tempat wisata. Sembari
menunjuk-nunjuk batu karang. Yang pertama, sebuah karang yang pada waktu-waktu
tertentu digunakan sebagai tempat menaruh sesaji saat ritual upacara.
Kedua, Gua Kelamin. Di karang tersebut ada lubang kecil yang orang-orang
biasa menyebut Gua Kelamin. Katanya ada orang gila ketika dimasukkan ke gua
tersebut terus sembuh. Pas lihat gua itu, dahi saya mengernyit, cuma lubang
kecil di karang aja disebut gua.
Ketiga, karang berbentuk kodok. Mulanya saya bingung mana sih karangnya.
Oh itu. Kalau itu bisa jadi karang utuh lalu terkena air terkikis membentuk
mirip kodok.
Keempat, orang mancing. Saya mencari-cari mana nih orang mancingnya ga
ketemu juga. Dari jauh mungkin kelihatan orang mancing tapi kalau didekati bisa
jadi tidak berbentuk orang mancing.
Mulanya saya pikir perahu bakal menepi dan melihat sebuah objek wisata.
Ternyata tidak. Hanya disuruh lihat karang, lalu dia cerita yang dibumbui
dengan mitos-mitos lalu disangkutpautkan dengan bentuk karang tersebut.
Apa yang dijelaskan Si Bapak sebenarnya tidak ada yang spesial. Hanya
saja, saya jadi bisa merasakan naik perahu berada di tengah laut. Bagaimana
rasa deg-degan dan takut terombang-ambing ombak. Jadi enggak nyesel nambah
biaya dikit buat naik perahu.
Pengalaman naik perahu, semakin ke tengah ombaknya semakin besar. Perahu goyang-goyang
seperti mau “numplek.” Apalagi perahu ukurannya kecil, mungkin kalau ukurannya
besar lebih nyaman. Air laut masuk ke perahu hingga membasahi tas dan pakaian. Sebagian
dari kami merasa takut. Oleh karena itu kami memilih balik saja tidak melanjutkan
perjalanan.
Pasir Putih dan Hutan Lindung
Kami meminta berhenti di Pasir Putih agar bisa melihat hutan lindung. Ada
yang menarik di seputaran Pasir Putih. Airnya bening, tempat yang asyik untuk
menyelam. Di sana sudah ada penyewaaan pelampung dan alat untuk snorkeling.
![]() |
Pasir Putih |
Di Pasir Putih ada pintu masuk ke hutan lindung. Kami berhenti sejenak
untuk menghilangkan rasa capek usai naik perahu.
Ada sebuah tugu putih yang memberikan informasi tentang Gua Jepang. Di hutan
ini ada beraneka ragam pohon.
Saya hanya menemui dua Goa Jepang. Katanya sih ada tiga. Gua ini dibuat
pada masa pendudukan Jepang tahun 1941-945 atau periode Perang Dunia Kedua
melalui kerja paksa. Gua terbentuk dari beton yang tertimbun tanah. Fungsinya
sebagai benteng pertahanan dan gudang amunisi.
![]() |
Tugu Gua Jepang |
![]() |
Gua Jepang |
Bagian depan terdapat parit-parit. Tapi sayangnya saya tidak menemui
parit tersebut, mungkin sudah tidak ada. Menyebut kata goa saya pikir lubangnya
panjang. Tapi ternyata hanya sekitar 3-4 meter.
Pada zaman duhulu, gua ini sebagai tempat benteng pertahanan. Ga bisa
bayangin jika malam hari apa tidak seram. Di zaman modern ini saja, hutan ini
agak mengerikan. Apalagi zaman dahulu yang tidak ada penerangan lampu, jumlah
orangnya masih sedikit. Kok ya berani tinggal di sini.
Hutan lindung ini cukup pendek, tidak sampai 30 menit sudah mau turun.
Eit tapi, di bawah sudah disambut banyak monyet. Ada pengunjung yang bawa
plastik putih langsung disambar sama si monyet. Mungkin dikira monyet itu
isinya makanan. Orang itu menjerit kaget sekaligus takut.
Sama si monyet masih terus “dikekep.” Untung ada orang yang berani
bantuin. Akhirnya monyet melepas plastik tersebut. Si monyet kecewa kali
setelah dibuka plastiknya isi sepatu, haha.
Kami terus menyusuri jalan di tepi pantai. Masuk lagi ke hutan. Di sini
juga ada banyak monyet. Harap berhati-hati. Sampai di sebuah pos penjaga kami
bertanya, “Kalau ke sana ke mana Pak?”. “Kalau ke sana ke Pantai Timur.”
Beruntung nanya dulu karena tujuan kami mau keluar. Berarti jalannya tidak
lurus tapi belok kiri menaiki tangga. Akhirnya sampai juga di pintu keluar.
![]() |
Pintu keluar |
Usai dari Pantai Pangandaran, bus sengaja melewatkan di depan rumah
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Untuk sekelas menteri rumahnya
tidak terlalu mewah tapi tergolong bagus. Di depan terdapat pos satpam yang
bertuliskan “Susi Air.”
Sekira 30 menit tiba di pusat oleh-oleh bernama “Owen” sekaligus makan
sore. Makanan khas daerah sini adalah peyeum sejenis tape singkong. Satu
kilogramnya dihargai Rp 18.000. Kalau tape singkong sebenarnya hampir tiap
daerah sudah ada. Tapi namanya oleh-oleh ya tidak apa-apa dibeli.
![]() |
Rumah Bu Susi Pudjiastuti |
Sekitar pukul 17.00 bus melanjutkan perjalanan. Pukul 20.30 tiba di
sebuah rumah makan di Banyumas. Di sana kami tidak makan lagi, tapi untuk
sholat maghrib, shalat isya dan buang air. Ada penjual gethuk goreng Sokaraja sekilo
dihargai Rp 32.000. Setelah shalat kami melanjutkan perjalanan lagi, tapi
sayangnya ada jalan yang sedang dicor sehingga macet lama. Yang diperkirakan
jam 02.00 sudah sampai rumah tapi ternyata pukul 03.45 baru sampai rumah. Tapi
alhamdulillah pulang dengan selamat.
Kalau sedang piknik sebaiknya kita ikut terlibat langsung dalam
aktivitasnya agar bisa memberi kesan. Apalagi jika baru pertama kali ke objek
wisata tersebut. Misalnya saja coba naik perahu agar dapat merasakan
sensasinya. Seperti deg-degan, takut dan takjub. Dan itulah pengalaman yang
paling berharga. Jangan hanya duduk melihat-lihat saja. Terkecuali jika sudah
kedua kali ke tempat wisata itu. Memang untuk menggunakan sebuah fasilitas
pasti merogoh kocek lebih. Tapi tidak mengapa kan piknik tidak tiap hari, hehe.
Itu tadi perjalanan ke Pangandaran. Semoga informasi ini bisa memberi
manfaat.
![]() |
Pusat oleh-oleh dan resto Pangandaran |
Mantab mbk.
BalasHapusPengin ikut nulis tapi belum kesampaian. Penataan tulisan dg gambar belum begitu paham. 😁
Ayo mbak semangat nulis. Saya cuma otak-atik sendiri aja. Ini juga masih pemula dan belajar di dunia blog.
Hapus