Weekend seringkali menjadi pilihan
keluarga untuk berlibur. Destinasi wisata kerap ramai pada waktu ini. Meski
puncak keramaian biasanya pada libur lebaran atau akhir tahun bersamaan dengan
liburan sekolah. Jalanan macet, banyak objek wisata penuh dengan lautan
manusia. Meskipun padat, tetap saja liburan akhir tahun atau lebaran menjadi
waktu primadona untuk piknik keluarga.
Akhir tahun 2019 kemarin, tepatnya
saat liburan sekolah kami pun piknik ke tempat wisata. Bermula dari ajakan adik
ipar yang ngajak piknik ke Parang Kusumo. Tentu kami enggak bakal nolak kalau
diajak jalan-jalan, hehe. Tapi pada hari H, tiba-tiba pak suami ada acara
mendadak kerja bakti memasang kubah mushola. Tidak bisa dipastikan pikniknya
jadi apa tidak. Tergantung selesainya sampai jam berapa. Kalau cuma sampai jam
09.00 atau 10.00 tetap bisa piknik.
Menurut perkiraanku, piknik bakal
batal karena tidak dapat diprediksi berapa lama selesainya pasang kubah. Selain
itu, di musim penghujan ini kalau bepergian terlalu siang resiko kehujanan. Berhubung
yakin tidak jadi piknik, aku pun nyantai-nyantai saja di rumah.
Tapi, tiba-tiba pak suami pulang jam
09.30 dan langsung bilang, kita jadi piknik. Nanti ketemuan adik di Parang
Kusumo. Dia buru-buru mandi. Untung aku sudah mandi duluan. Sekira jam 10.00
kami berangkat.
Aku merasa ada yang janggal dan
aneh. Di Kemuning memang ada ya objek wisata bernama Parang Kusumo. Aku bilang
ke pak suami, masak sih Parang Kusumo. Setahuku Parang Kusumo itu pantai yang
berada di Bantul, Yogyakarta. Tapi sepertinya beliau tak menghiraukan
pertanyaanku.
Sesampainya di Kemuning kami
berhenti sejenak untuk memastikan lokasi wisata. Membaca kembali WA adik,
ternyata pak suami salah baca, yang benar Parang Ijo. Ah, pantesan saja tadi
aku enggak percaya masak ada Parang Kusumo di Kemuning.
Riwayat Air Terjun Parang Ijo
Parang yang berarti tebing,
sedangkan ijo artinya hijau. Menurut cerita dari mulut ke mulut entah benar
atau tidak, daerah itu dulunya adalah sebuah dusun. Di sana terdapat pohon
besar yang sulit ditebang. Tapi, karena terjadi banjir mengakibatkan pohon
tersebut tumbang. Banjir ini sering disebut Baru Klinthing.
Setelah terjadi banjir, tumbuhlah
pohon besar diantara tebing (parang) yang ukurannya sama dengan pohon yang
dulu. Keberadaan pohon ini mengakibatkan air yang mengalir ke bawah berwarna
hijau yang kemudian disebut Parang Ijo.
Air Terjun Parang Ijo
Dalam perjalanan kami melewati Pasar
Kemuning. Terus berjalan hingga tiba sebuah baliho bertuliskan Air Terjun Parang
Ijo. Dari sini jalannya menanjak tajam. Jika sudah sampai agak ke atas, kita
bisa melihat pemandangan Kota Karanganyar. Melewati pemukiman penduduk hingga
tiba di Air Terjun Parang Ijo. Air terjun ini terletak di Jl Munggur Raya,
Mlinggur, Girimulyo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
57793.
Biaya parkir kendaraan roda dua Rp
3000,-. Untuk Kendaraan roda empat Rp 5.000,-. Di seberang ada pos pembelian
tiket. Biaya tiketnya untuk hari biasa Rp 5.000,-. Tapi kalau hari libur dan
minggu Rp 7.000,-. Jam buka setiap hari pukul 08.00-16.00 WIB. Untuk turis
asing biaya tiket masuknya Rp 10.000,-.
Trek jalannya bagus, disampingnya ada parit |
Dari pintu masuk kami melewati jalan
setapak yang di sebelah kirinya terdapat parit. Lalu jalan menurun hingga
sampai di sebuah jembatan. Di tempat ini pengunjung bisa berfoto di depan papan
tulisan Air Terjun Parang Ijo. Tapi, saat ambil gambar jangan lupa untuk
memperhatikan lalu lalang pengunjung ya.
Kami berjalan sedikit naik ke terdapat
dua simpangan. Kalau ke kiri jalan menuju air terjun. Sedangkan ke kanan menuju
kolam renang, warung makan dan jalan keluar. Aku memilih undakan ke kiri. Di sini terdapat
tanah lapang yang disediakan gasebo sebagai tempat santai. Lalu berjalan lagi
melewati jembatan hingga tiba di bawah air terjun. Udaranya cukup sejuk. Tampak
tidak banyak pengunjung sehingga aku bisa leluasa mengambil gambar di dekat air
terjun. Debit airnya tidak terlalu banyak. Kata saudara, debit airnya sudah
berkurang dibandingkan saat dia pertama kali ke sini. Aku tidak berani bermain
air karena tidak membawa baju ganti. Lebih banyak memandangi keindahan alam
sembari “cekrak-cekrek.”
Kejahilan Monyet
Di tempat ini, terdapat seekor
monyet dan tupai. Hampir semua monyet yang kutemui selalu jahil saat ada orang yang
menenteng barang. Dia akan merebut makanan atau minuman kita. Si monyet ini
tampak asyik memakan dua buah biskuit hasil rampasan pengunjung. Beruntung di
sini hanya ada satu monyet, bagaimana jadinya jika ada segerombolan monyet
tentu kita harus lebih waspada.
Punya pengalaman akibat kejahilan
monyet. Waktu itu sedang berkunjung ke Grojogan Sewu. Baru pertama kali ke sana
sehingga belum waspada akan keberadaan monyet. Kami terbilang masih pengantin
baru. Sedang asyik jalan-jalan berdua, tiba-tiba air mineral yang aku bawa
dirampas sama si monyet. Aku kaget bukan main. Bukan karena pelit, tapi kaget
cara dia ambil minuman itu. Ketika sampai di sebuah taman, kami asyik duduk
berdua mau makan cokelat. Tiba-tiba segerombolan monyet hendak meraih cokelat.
Untung aku dengan sigap menyembunyikan cokelat tersebut. Terlambat sekian
detik, bakalan jadi milik si monyet.
Monyet lagi makan biskuit hasil curian |
Di tempat ini ada seorang penjual
pentol. Pengunjung bisa membeli dagangan beliau. Selain untuk mengganjal perut,
juga membantu melarisi dagangannya.
Di sebelah atas terdapat gardu
pandang tapi sayangnya kondisinya kurang terawat. Aku cukup melihat saja.
Jalan Menanjak Menuju Arca Saraswati dan Lingga Yoni
- Aku merasa tidak puas kalau hanya duduk bersantai di gasebo. Masih penasaran jalan setapak yang ada di atas. Aku mengajak pak suami untuk naik dan dia pun mau. Kami tiba di sebuah patung Saraswati dan Lingga Yoni. Istarahat sebentar sembari mengambil gambar dan melihat air terjun dari atas. Ah suasananya cukup indah.
Keberadaan patung Saraswati ini
membuatku bertanya-tanya. Mengapa di sebuah pegunungan sering terdapat arca Saraswati. Tak hanya di air terjun Parang Ijo, tapi di Candi Cetho yang berada
di lereng gunung pun di bagian paling atas terdapat patung tersebut.
Aku pikir, posisi patung Saraswati
di tempat ini menjadi ujung dari jalan setapak. Ternyata tidak. Masih ada jalan
menuju puncak bukit. Tapi kami memutuskan untuk tidak berlanjut ke sana. Selain
sudah ditunggu saudara di bawah, aku merasa agak sedikit takut jika terus ke
atas. Suasananya agak “singup” dan sepi. Apalagi
pengunjung semakin sedikit yang mau ke atas.
Fasilitas Kurang Terawat
Setelah
dirasa cukup, kami turun menuju jalan keluar. Melewati deretan kamar mandi. Ada
warung-warung tapi sayangnya tutup. Ke bawah lagi terdapat kolam renang tapi
kondisinya nampak kotor tidak terawat. Kami naik ke atas menuju jalan keluar,
di samping kanan terdapat deretan toko. Tapi sayangnya hanya satu toko yang
buka.
Objek
wisata ini seperti “Hidup segan, mati tak mau.” Kalau dibilang hidup tapi banyak
fasilitas yang tak terawat. Tapi kalau dibilang mati, nyatanya tempat ini masih
eksis dan masih ada pengunjung. Yang bikin aku heran, deretan toko ini banyak
yang tutup. Mungkin, jualan di sini kurang menguntungkan akhirnya mereka
memilih meninggalkan.
Makan Bersama
Waktu menunjukkan pukul 12.00.
Saatnya shalat dhuhur dan makan siang. Karena mushola ada di luar jadi kami
memilih makan dulu. Nikmatnya makan nasi bersama yang dibawa adik dari rumah.
Kami makan lesehan di depan deretan ruko. Suasananya sepi sehingga membuat kami
nyaman makan di sini. Di depan ruko terdapat tanaman sledri tumbuh dengan
subur.
Mushola Mungil dan Kloset yang Dalam
Setelah ke luar dari pintu keluar,
kami menuju parkir kendaraan. Bersiap mau pulang, eh tiba-tiba kakak lupa
menaruh kunci. Dicari-cari dalam tas dan dompet tak juga ketemu. Pak Suami dan
adik membantu menyari kembali susur di tempat wisata tadi. Tukang parkir menghampiri
kami karena terlihat mau mengambil sepeda motor. Kakak mencoba menanyakan kunci
miliknya kepada tukang parkir. Ternyata, kunci tertinggal di sepeda motor dan
dirawat sama tukang parkir. Alhamdulillah ternyata tidak hilang.
Ponakan menyusul Pak Suami dan adik
agar kembali karena kunci sudah ditemukan. Dari pada nunggu lama, aku dan kakak
memilih shalat di mushola dekat pintu masuk. Ukuran musholanya kecil. Di
sampingnya terdapat kamar mandi. Begitu masuk kamar mandi, aku kaget karena
lubang klosetnya begitu dalam. Aku jadi teringat kloset di rumah budhe zaman
dulu, buatan sendiri sehingga dibuat
dalam.
Aku kurang mengerti, kenapa kloset
dibikin dalam. Kalau untuk sebuah fasilitas umum, sepertinya kurang cocok
karena agak membahayakan untuk anak kecil. Tersebab bisa membuat anak masuk ke dalam.
Air Terjun Parang Ijo merupakan
salah satu pilihan destinasi wisata di Karanganyar. Suasananya sejuk dan asri.
Trek jalan menuju air terjun cukup bagus. Bersih, di sisi kiri terdapat parit.
Jujur aku cukup “kesengsem” sama jalan ini. Dikarenakan pengunjungnya belum
terlalu banyak, kita bisa menikmati keindahan alam dan mengambil gambar dengan
leluasa. Justru ini bisa menjadi sisi positif. Hanya saja, dibutuhkan
pengelolaan lebih serius agar fasilitas yang tersedia tetap terawat.
Komentar
Posting Komentar